Langsung ke konten utama

SEDERHANA MENGGAPAI SURGA



PROLOG

 

“Takwa akan memberikan solusi dan tawakal menjadikan kemudahan menjalani hidup di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak”

 

Hampir 2 tahun berlalu setelah Mak Salamah memakamkan lelaki korban tabrak lari bus itu, suami Mak Salamah yaitu Pak Sukaryo pulang. Bu Arifah merasa yang paling bertanggungjawab karena yang pertama menyebut lelaki korban tabrak lari bus itu adalah Pak Sukaryo.

Kepulangan Pak Sukaryo mengungkap bahwa lelaki korban tabrak lari bus itu Pak Mulyono, suami Lik Narti. Bukan hanya suami-suaminya, banyak kemiripan antara Mak Salamah dan Lik Narti.

Pak Sukaryo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Mak Salamah kembali menjadi orang tua tunggal buat Yanto. Tabungan Yanto habis untuk tambahan biaya berobat bapaknya. Mampukah Yanto mewujudkan cita-citanya untuk bisa berpendidikan tinggi?

Pergolakan batin Yanto, lika-liku perjalanan hidup Yanto tercerahkan oleh Mak Salamah yang selalu menasehati Yanto. Bersyukurlah Yanto masih memiliki Mak yang dengan keikhlasan dan kesederhanaan mampu membimbingnya hingga menjadi pribadi yang cemerlang.

 


DAFTAR ISI :

 

BAB 1

Mak Salamah, Kesederhanaan Yang Mahal

"Aku nggak mau memberi makan anakku dari uang yang nggak ikhlas, apalagi uang haram, bikin anak bodoh”

 

BAB 2 

Yanto Kecil Bercita-cita Besar

“Keinginanku selalu diberi kekuatan Iman Islam, kelancaran berfikir dan keberkahan rizki”

 

BAB 3 

Kangen Bapak

“Di benakku sudah tidak peduli dengan seseorang yang mungkin akan peduli kepadaku, Aku sudah tidak bisa menggambarkan sosok seorang Bapak... “

 

BAB 4 

Lelaki Terlantar Itu

“Berserah diri pada Allah dengan ketentuann-Nya atau kita mau  Allah melayani dengan ketentuan kita? Tentu saja ketentuan-Nya akan lebih baik”

 

BAB 5 

Menguak Tabir Rejeki

“Hidup kita sudah ada yang mengatur, termasuk rezeki. Kita cuman diwajibkan berusaha dengan sungguh-sungguh, menjalani hidup dengan cara yang terbaik dan pasrah total hanya kepada Allah, masalah hasil itu kuasa Allah”

 

BAB 6 

Benarkah Itu Bapak?

“Sesuatu yang datang menimpa pada kehidupan ini kadang merupakan suatu cobaan yang Allah berikan pada hamba-Nya. Ujian seharusnya dihadapi dengan baik, bukan dihadapi dengan cara yang tidak diperbolehkan-Nya.”

 

BAB 7 

Ketulusan Itu Dari Keikhlasan Dan Kejujuran

“Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik dihadapan Allah, demikian juga sebaliknya. Bisa jadi apa yang kita anggap baik itu buruk buat kita, apa yang kita anggap buruk bisa jadi itu baik untuk kita.”

 

BAB 8 

Sebuah Tekad Satu Cita-Cita

Jer Basuki mowo bea, Cita-cita itu ada pengurbanannya. Kadang diperlukan kenekatan untuk suatu keberhasilan.”

 

BAB 9 

Bila Harus Hidup Yang Kita Tak Boleh Kalah

“Diuji kesusahan harus sabar itu biasa, kita harus bisa tetap bersyukur. Demikian juga diuji kenikmatan kita bersyukur itu biasa, tapi bagaimana kita bisa bersabar.”

 

BAB 10 

Jangan Melenakan

“Dunia ini hanya sarana, akhirat tujuan akhir. Memang kita perlu sarana untuk mencapai tujuan, tapi jangan sampai dalam mencari sarana melupakan tujuan”

 

BAB 11

Langkah Awal Tiada Akhir

 “Perjuangan hidup yang ada awalnya, hanya akhir hidup yang mengakhiri”

 

 BAB 12

Bukan Soal Besar Kecil Kesalahan, Terlebih Jika Kesalahan Kita Jalani Dengan Sadar

“Allah itu tergantung prasangka hambaNya. Hidup ini memang pergumulan ujian, kita harus tangguh, tegar, dan tidak mudah terbujuk segala macam godaan.”

 

BAB 13 

Walau Takkan Lari Gunung Dikejar, Takkan Sampai Tangan Memeluknya

Yang sedikit itu cukup jika kita qanaah, yang banyak bisa kurang jika kita tamak.”

 

 BAB 14 

Selalu Ada Kesempatan

Waktu yang berlalu tak mungkin diputar kembali, terlalu banyak yang telah lewat dan berlalu tanpa kita sadari. Tapi selalu ada kesempatan bila kita mau perbaiki. Bulatkan tekad dan bertawakallah kepada Allah ”

 

1

MAK SALAMAH, KESEDERHANAAN YANG MAHAL

 

“Aku nggak mau memberi makan anakku dari uang yang nggak ikhlas, apalagi uang haram, bikin anak bodoh”.

 

Duk..., duk..., duk..., itulah suara hentakan tongkat seiring langkah kaki memecah kesunyian fajar. Ya, tiap habis Subuh Mak Salamah yang jalannya agak pincang menyusuri jalan tikus untuk sampai dipinggir jalan tempat gerobak sapi langganan tumpangannya ke pasar. Tongkat untuk membantu menopang beban yang digendong karena kakinya cacat sebelah kanan lebih pendek dari luka sewaktu masih kecil. Obor ditangan kiri, tongkat ditangan kanan dengan menggendong dunak berisi hasil kebun dan hasil ternak seadanya. Tiap fajar sehabis subuh Mak Salamah berangkat ke pasar kota kecamatan untuk menjual hasil kebun dan ternaknya. Pulangnya membawa belanjaan sembako kebutuhan sehari-hari buat keluarga dan tetangga yang menitip.

Mak Salamah berperawakan ideal, tidak begitu tinggi maupun pendek. Berkulit coklat sawo matang dan berwajah manis, khas paras cantik wanita desa. Keseharian memakai kain jarik dan kopyah penutup kepala (makromah / ciput). Jika keluar rumah ditambah ditambah memakai selendang panjang yang menjulur dari atas kepala ke samping kiri dan kanan hingga sebatas badan.

Jalan tikus dari rumah Mak Salamah ke pinggir jalan kira-kira 250 m. Jalan tikus itulah jalan pintas terdekat untuk sampai ke jalan beraspal dimana cikar (gerobak sapi), dokar (kereta kuda) atau mobil bisa lewat. Sebenarnya ada jalan lain lebih bagus dan beraspal desa, tapi memutar sampai sejauh 500 m lebih. Kegelapan fajar, jalan yang bergelombang, suasana desa yang berkabut dan ketiadaan penerangan jalan yang membuat Mak Salamah membutuhkan penerangan obor. Obor sekali pakai yang dibuat dari tangkai daun pepaya itu selalu Mak Salamah siapkan sore hari sebelumnya.

Seperti fajar hari ini, semalam habis hujan, sampai fajar ini mendung masih tebal, sehingga tidak nampak bulan maupun satu bintangpun yang membuat fajar ini terasa lebih gelap dan sunyi hingga suara hentakan tongkat Mak Salamah duk.., duk..., duk..., terdengar dengan lebih jelas memecah kesunyian fajar. Suasana begini sudah terbiasa bagi Mak Salamah jalani untuk menyusuri jalan tikus.

Mak Salamah, Wanita kuat, tegar dan sederhana harus menjadi tulang punggung keluarga sejak ditinggal Pak Sukaryo suaminya merantau kerja di luar kota. Pak Sukaryo ijin merantau saat Yanto anak semata wayangnya masih duduk di kelas 4 SD, kini Yanto sudah kelas 6 SD, berarti sudah hampir 2 tahun ditinggal bapaknya. Rumah bambu yang boleh dibilang Gubug dan sepetak kebun dipinggir sungai peninggalan suami harus dikelola Mak Salamah sendirian untuk membesarkan Yanto. Kebun ditanami pohon kelapa, beberapa jenis pisang, juga ditanami tanaman musiman / palawija seperti ubi, ketela pohon, cabai, kairut, ganyong, daun sirih, kunyit, jahe, lengkuas dan sere. Selain itu suaminya juga meninggalkan ternak  beberapa ekor ayam dan itik. Hasil kebun dan ternak itu yang bisa dijual Mak Salamah ke pasar, selain itu Mak Salamah juga buat taoge, ale dan sejenisnya.

Merantau terpaksa dilakukan suami Mak Salamah karena pekerjaan di kampung tidak menentu. Pak Sukaryo berkeinginan untuk memiliki modal kerja dan menabung buat persiapan biaya Yanto supaya bisa berpendidikan tinggi. Pak Sukaryo tidak ingin anak semata wayangnya hanya berpendidikan sampai SMA seperti dirinya, minimal harus sampai Sarjana, begitu tekat pak Sukaryo. Sementara pekerjaan di kebun kira-kira bisa Mak Salamah kelola sendiri.

__&&&__

 

Sejak suaminya merantau, Mak Salamah menggantikan segalanya peran bapak Yanto, termasuk mendidik Yanto. Mengajak Yanto untuk shalat berjamaah di Mushola kampung itu salah satu kebiasaan Pak Sukaryo. Yanto juga sudah dibiasakan oleh bapaknya bila selesai shalat Maghrib berjamaah tidak langsung pulang, tapi ikut mengkaji Al Qur’an sampai waktu shalat Isya’ tiba.

Alhamdulillah ada sukarelawan pengajar tilawah Al Qur’an di Mushola itu. Ada belasan anak-anak yang mengkaji Al Qur’an. Keadaan itu tidak mungkin semua anak bisa tertangani dengan hanya ada 1 pengajar. Maka dari itu, yang sudah sampai tahap mengkaji Al Qur’an seperti Yanto, harus membantu mengajar adik-adik yang baru belajar pengenalan huruf hijaiyyah sampai membaca dan menghafal surat-surat pendek Al Qur’an.

Mak Salamah sudah terbiasa melakukan tilawah Al Qur’an di rumah setelah pulang selesai shalat maghrib dari Musholla. Kemudian kembali ke Musholla saat adzan Isya’. Sepulang shalat Isya’ Mak Salamah dan Yanto lalu makan malam. Setelah itu Yanto belajar atau mengerjakan PR sekolah. Tilawah Al Qur’an dan belajar juga dilakukan Yanto selesai shalat subuh. Begitu kebiasaan yang diajarkan bapaknya Yanto.

Selain rajin mengajak Yanto untuk shalat berjamaah di Musholla, Mak Salamah juga biasa menjalankan shalat malam / tahajud sampai menjelang subuh. Kadang Yanto juga minta dibangunkan untuk shalat tahajud yang biasa Mak Salamah bangun antara jam 2 – 3 malam. Menjelang adzan subuh, kalau Yanto belum bangun, Mak Salamah segera membangunkan Yanto.

 “Yanto, bangun shalat subuh!”

“Sudah adzan subuh ya Mak?”

“Bentar lagi”

Yanto bergegas bangun dan ambil air wudhu. Sementara Mak Salamah sudah menunggu didepan pintu rumah.

“Ayo Mak!”

“Bawa apa yang bisa dijual ke pasar nanti Mak?” tanya Yanto sambil berangkat ke Mushola.

“Tidak banyak, Kelapa 5 butir yg kemarin sudah Yanto bersihkan serabutnya,  kemarin lusa Emak ngeram pisang ada 5 sisir entar matang berapa sisir, sama kemarin itiknya bertelur berapa? itu yang Emak bawa”

“Cabai lagi mahal, cabai kita belum tua ya Mak?” balas tanya Yanto tanpa menjawab ada berapa telur itik kemarin karena Yanto tidak begitu ingat.

“Belum, sekitar seminggu lagi kita bisa mulai panen cabai”

“Syukur Mak”

“Iya syukur, kita bisa mengelola apa-apa yang ditinggalkan bapakmu”

Sepulang dari Shalat Subuh berjamaah di Mushola Emak harus mempersiapkan yang akan dibawa ke pasar dan menyiapkan sarapan sederhana nasi yang ditanak sebelum Subuhan tadi, sayur seadanya, ceplok / rebus telur, tinggal buat teh panas manis. Sementara Yanto masih bisa tilawah Al Qur’an dan melanjutnya belajar sebentar.

Selesai itu semua Mak Salamah segera Mandi dan berangkat ke pasar, kadang juga Mak Salamah mandi sebelum shalat subuh.

“Yanto, Emak mau berangkat”

“Ya Mak, telur itik kemarin sudah diambil Mak?”

“Ya, ada 8 butir ni, kalau matahari sudah terbit nanti ayam dan itiknya dikasih makan, bekatulnya masih kan?”

“Masih Mak!”

“Ya sudah, Emak berangkat, Assalamu’alaikum”.

’Waalaikum salam, hati-hati ya Mak” jawab Yanto.

Hari masih gelap dan berkabut, jalan tikus yang naik turun sudah terbiasa Mak Salamah lalui, kurang lebih 5 menit sudah sampai dipinggir jalan beraspal. Nunggu dimulut gang sesaat gerobak tumpangan akan segera datang. Klunthung... klunthung... krek... klunthung... klunthung.. krek... suara lonceng yang dikalungkan di leher kedua sapi penarik gerobak dan suara gesekan gerobak yang menimbulkan irama khas pertanda gerobak sudah dekat. Gerobak sudah berhenti tapi Lik Kasan kusir gerobaknya nggak keluar-keluar.

“Lik Kasan ..... !!!,   Lik Kasan  ..... !!!” teriak Mak Salamah. (Panggilan Lik di desa, bisa Pak Lik / paman atau Bu Lik / Bibi).

“Ohh... iyo Mak, ngantuk !” jawab Lik Kasan sambil turun membantu menaikkan Dunak Mak Salamah.

Ngantuk kok cikarmu iso mendeg dewe?!” kata Mak Salamah mengantuk kok cikar bisa berhenti sendiri.

Sapine wis biasa, wis apal mandege ngendi wae Mak!” Sapinya sudah hafal dimana harus berhenti kata Lik Kasan yang juga harus bantu Mak Salamah naik kedalam cikar.

Lho, iki yo wis ono Dhe Legi, melu ngantuk yo Dhe” Mak Salamah tidak mengira kalau didalam cikar juga ada Dhe Legi.

“Kecapaian Mak, mau mbengi lembur nggendeli kacang iki” Dhe Legi jawab sambil menguap.

“Lik Biyah ora dodolan Dhe kok mangkat dewe?” Mak Salamah menanyakan Lik Biyah yang merupakan adik Dhe Legi, Lik Biyah nggak jualan kok berangkat sendiri?

Prei, mau mbengi yo melu ngrewangi nggendeli kacang” Dhe Legi menjawab kalau Lik Biyah libur, tadi malam juga bantu mengikat kacang panjang.

“Ayo jalan Lik Kasan!” Mak Salamah sama Dhe Legi berucap hampir bersamaan.

__&&&__

 

Sementara Yanto, yang sudah hampir 2 tahun ditinggal ayahnya, sudah terbiasa mandiri membantu menyelesaikan pekerjaan rumah setelah Emaknya pergi ke pasar. Menyapu halaman, mengupas sabut kelapa, memberi makan ayam dan itik, itu yang bisa dilakukan Yanto sebelum berangkat sekolah. Sebelum memberi makan itik, Yanto mengambili telur itik yang berceceran didalam kandang, ada belasan itik, jumlah telur rata-rata lebih dari setengah jumlah itik. Yanto memberi makan itiknya dengan bekatul yang dicampur air dan sisa nasi kemarin kalau ada. Yanto sengaja memberi makan itik yang masih di kandang dan menahannya sementara waktu sebelum itik dilepas, ini dilakukan Yanto kalau-kalau ada itik yang terlambat bertelur. Setelah itik dilepas, akan jalan sendiri ke sungai. Letak rumah dan kebunnya yang dipinggir sungai membantu memudahkan Yanto menggembalakan itiknya usai diberi makan. Selesai pekerjaan rumah tersebut Yanto segera mandi, sarapan dan pergi ke sekolah.

Hari ini suasana pasar sangat ramai. Mak Salamah membuka lapak dengan hanya menggelar dagangannya memakai alas karung bekas wadah beras di tanah. Mak Salamah menyapa dan menawarkan dagangannya pada tiap orang yang lewat untuk berbelanja. Dengan berdiri Mak Salamah menawarkan dagangannya. Sering ada calon pembeli yang menawar dagangan Mak Salamah. Dengan sabar Mak Salamah menjelaskan harga dagangannya. Untuk dagangan yang umunya dijual di pasar itu, Mak Salamah tidak asal menghargai murah, Mak Salamah tidak mau merusak harga pasar.

Hari makin beranjak siang dan terik. Sambil terus menawarkan dagangannya, sesekali Mak Salamah menyeka keringat dengan ujung selendangnya. Alhamdulillah, sekitar pukul 10.30 siang dagangan Mak Salamah habis semua, sekarang saatnya belanja keperluan rumah sama titipan Dhe Darmi dan Dhe Sumi tetangga Mak Salamah. Beras, gula pasir, minyak goreng serta bumbu dapur yang harus dibeli Mak Salamah hari ini. Dhe Darmi dan Dhe Sumi juga titip minyak goreng, gula pasir dan bumbu dapur juga. Selesai belanja segera Mak Salamah menunggu cikar atau dokar yang bisa ditumpangi sampai mulut gang menuju kampungnya.

Sampai rumah menjelang dhuhur, Mak Salamah bisa menyiapkan makan siang Yanto. Selesai shalat dhuhur bentar kemudian Yanto pulang sekolah, Mak Salamah bisa istirahat siang sampai ashar tiba. Selesai shalat ashar Mak Salamah mulai kerja di kebun. Menanam bila perlu ada yang ditanam lagi dan memanen bila ada yang harus dipanen. Terkadang sampai menjelang maghrib Mak Salamah baru pulang dari kebun.

 Sementara Yanto membantu mengambil air bersih untuk keperluan dapur dan keperluan mandi cuci kakus, juga membantu mencari kayu bakar. Jelang maghrib jika itik yang biasa mencari makan di sungai belum kembali ke rumah, Yanto harus menggiring ternak itik kembali kerumah dan memberinya makan tambahan.

__&&&__

 

Pagi ini gerobak langganan tumpangan Mak Salamah tidak jalan, itu artinya Mak Salamah harus jalan kaki sejauh lebih dari 6 KM untuk sampai ke pasar. Gerobak sapi (cikar) itu angkuatan terpagi yang melewati desa Mak Salamah. Setelah agak siang sewaktu anak-anak berangkat sekolah, orang-orang berangkat kerja atau berbelanja ke pasar kota kecamatan, ada kereta kuda (dokar) dan juga mobil angkot. Kalau naik gerobak sapi sejauh itu kira kira setengah jam bisa sampai pasar, tapi kalau harus jalan kaki bisa kira-kira 1 jam sampai pasar. Sebetulnya gerobak itu bukan tumpangan umum, sewaan tengkulak mengangkut dagangan, kadang muat kayu bakar, buah, sayur dan lain-lain. Kalau ada yang numpang seperti Mak Salamah dan kawan-kawan itu jadi penghasilan tambahan kusir.

“Yanto...., Mak harus berangkat jalan kaki ni, gerobak nggak jalan.”

“Kenapa nggak libur saja Mak, jual besuk” Yanto mengkhawatirkan dan menyayangkan kalau Emaknya harus jalan kaki.

“Nggak, ada pisang yang sudah matang, nunggu besuk kematangan entar malah nggak laku”.

“Ya sudah Mak, hati-hati dan jangan dipaksakan jalan terus kalau kecapekan, kelapanya jual besuk saja Mak, ntar keberatan” suara Yanto masih bernada kawatir.

“Sudah, biasa saja, ya, ini cuma bawa pisang, telur itik, cabai, taoge, sere sama daun suruh saja, ringan kok, assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam” Yanto lari menghampiri Emak untuk cium tangan.

Dalam perjalanan ke pasar Mak Salamah bertemu dengan teman-teman senasibnya, ada Dhe Legi dan Lik Biyah. Kebersamaan dengan teman senasib bisa meringankan perjalanan mereka, bisa sambil canda, saling bercerita permasalahan masing-masing.

Ora prei wae dodolane Mak?” Dhe Legi menyapa Mak Salamah duluan.

“Nggak, ada pisang yang harus dijual, mlaku alon alon wae yo Dhe” jawab Mak Salamah.

Mlaku santai wae Mak, jual apa saja Mak?” Lik Biyah menimpali.

“Nggak banyak, bawa yang harus dijual hari ini saja, ada Kelapa jual besuk saja”

Saiki ra nggawe tempe meneh yo Mak?!” Dhe Legi menanyakan yang intinya kenapa sekarang nggak membuat tempe lagi?.

Sakwise ditinggal merantau pakne Yanto, ra tau gawe tempe meneh, repot raono sing bantu ngekum karo ngumbah kedelai” jawab Mak Salamah, setelah ditinggal merantau Pak Sukaryo bapaknya Yanto, sudah tidak pernah buat tempe lagi, repot nggak ada yang bantu rendam dan cuci kedelainya.

“Tetangga yang titip belanjaan siapa saja?” tanya Dhe Legi.

“Biasa, Dhe Darmi sama Dhe Sumi, nggak banyak juga”

“Kalau mereka nitip suka ngasih uang tambahan nggak?” selidik Lik Biyah.

“Kadang-kadang saja, kadang suka digenapi dari uang yang harusnya kembali.”

“Kalau begitu naikin saja harganya, seperti Mak Salamah menjual kembali begitu” Lik Biyah memberi saran.

“Nggak ah, sama tetangga perhitungan” jawab Mak Salamah dengan nada candaan.

“Bukan begitu, bisnis ya bisnis, Mak Salamah tambah repot juga kan?” Lik Biyah masih memaksakan sarannya.

“Dari awal mereka cuman nitip, jadi bukan jual beli, Aku nggak mau memberi makan anakku dari uang yang nggak ikhlas, apalagi uang haram, bikin anak bodoh” Mak Salamah memantapkan alasan.

“ Ya sudah kalau Mak Salamah ikhlas begitu” Dhe Legi menengahi.

Begitu keseharian Mak Salamah dan Yanto. Selepas sepeninggalan suaminya, wanita perkasa, tegar dan sederhana itu menjalani kehidupannya dengan iklhas, selalu berfikir positif dan taat beribadah serta selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan sesama.

 

2

YANTO KECIL BERCITA-CITA BESAR

 

“Keinginanku selalu diberi kekuatan Iman Islam, kelancaran berfikir dan keberkahan rizki”

 

Yanto kecil seperti anak-anak desa lainnya, sore hari disela-sela waktu membantu pekerjaan orang tua digunakan untuk bermain. Yanto punya teman dekat yang merupakan teman sekolah sekaligus teman kampung yaitu Marno, Yatno, Madi, dan Purwanto. Teman-teman Yanto itulah yang menghibur Yanto dan bisa menghilangkan sejenak kesedihan ditinggalkan bapak.

Bersama teman-temannya, membuat Yanto selalu ceria. Sebenarnya Yanto adalah anak yang periang, cerdas lagi tampan. Dari kecil berperawakan ideal, kulit bersih dan berambut sedikit ikal. Kecuali itu, Yanto juga mempunya sifat rendah hati dan selalu baik dengan orang lain. Maka dari itulah Yanto disukai banyak teman-temannya.

Seperti sore itu, musim pancaroba dari musim hujan ke musim kemarau. Hujan masih lebat tapi sudah mulai jarang terjadi. Aliran sungai sudah tidak meluap tapi masih cukup deras lagi jernih. Selesai mengambil air bersih di sumur tetangga Yanto menunggu teman-temannya untuk diajak mandi dan berenang di sungai. Biasa mereka bermain di tanah lapang yang tidak ditanami. Tidak berapa lama Yatno datang membawa kambingnya untuk digembala di tanah lapang itu.

“Yatno, nanti kita mandi di sungai lagi ya!” Yanto sudah tidak sabar untuk segera mengajak teman-temannya mandi di sungai.

“Ya, kita tunggu teman-teman yang lain ya!”

“OK”

Sambil menunggu teman-teman lainnya datang, Yanto dan Yatno asyik bercengkerama sendiri. Yatno menanggkap walang kadung (belalang sembah) yang tiba-tiba hinggap ditubuhnya. Tingkah polah belalang sembah yg lucu dibuat candaan Yatno untuk menyindir tingkah polah Yanto.

“Lang walang kadung, Yanto yen turu piye?”

(Lang belalang sembah, Yanto kalau tidur gimana?). Belalang sembah mengusap-usap mukanya dengan kaki depannya yg seperti tangan.

“Ha ha ha ha... Yanto kalau tidur suka mengusap-usap muka” Teriak Yatno.

Yanto segera meminta belalang sembah yang masih dibawa Yatno untuk dipermainkan membalas Yatno.

“Sini gantian saya yang mainkan!” Teriak Yanto sambil menarik tangan Yatno.

Yatno lari tidak memberikan belalang itu pada Yanto, mereka berkejar-kejaran. Lalu Yatno melepas belalang sembah itu. Tidak berapa lama, teman-teman yang mereka tunggu datang juga, Marno, Madi, dan Purwanto. Sudah lengkap mereka 5 sekawan sama Yanto dan Yatno.

“Pada berebut apa itu!” Kata Marno melihat candaan Yanto dan Yatno.

“Ini, Yanto saya sindir gaya tidurnya dengan tingkah lucu walang kadung, Yanto pengin membalas, walang kadung nya sudah saya lepas” Jawab Yatno.

“Ayo, kita langsung mandi di sungai saja, keburu kesorean!” Teriak Yanto seolah melupakan candaan Yatno tadi.

Ada tempat favorit mereka mandi di sungai, mereka namakan Gempol, yaitu bagian sungai yang agak lebar dan dalam, pinggir sungai landai dan tanah mengandung tanah liat. Dinamakan Gempol karena dulu ada pohon gempol dilereng sungai, tapi sekarang sudah tumbang karena erosi. Mereka selalu buat seluncur dipinggir sungai yang landai itu dengan membuat cekungan selebar badan dari atas sampai masuk ke sungai, lalu tinggal membasahi dengan menyiram air sampai air sedikit mengalir mengikuti alur cekungan yang mereka buat. Tinggallah mereka meluncur, lari keatas dan duduk dicekungan itu lalu meluncur sampai masuk ke dalam sungai. Tidak kalah dengan seluncur yang ada di Taman Impian Jaya Ancol ya, begitu Yanto menyebutnya.

Puas main seluncur, mereka berlomba berenang mengitari sungai. Kemudian bermain menyelam mencari batu gacoan. Mereka menyiapkan batu yang berbentuk unik yang besarnya segenggaman lebih, mereka lempar ketengah-tengah sungai, siapa yang berhasil menemukan duluanlah yang menang. Kemudian yang menang yang berhak melempar lagi batu itu ke sungai, sementara teman-teman yang lain harus menghadap membelakangi sungai supaya tidak tahu tempat jatuhnya batu itu.

Tidak sampai jelang Maghrib mereka bermain akan selesai juga. Mereka masih punya tanggung jawab kerjaannya masing-masing dalam membantu orang  Tua. Yanto biasa mencari kayu bakar dengan mengambil ranting-ranting kering sekitar sungai atau sambil bermain ambil kayu-kayu yang hanyut di sungai.

“Ayo teman-teman kita udahan, ujung jari saya sudah berkerut kedinginan ni” Yanto mengingatkan teman-temannya.

“Iya, mata Madi itu sampai merah!” teriak Marno.

“Iya, saya belum cari rumput juga” ujar Yatno.

Sesampainya di rumah, Yanto menaruh kayu bakar kaisannya lalu langsung bilas Mandi. Mak Salamah juga sudah pulang lebih awal dari kebun untuk cuci baju.

“Yanto, kenapa celanamu bolong pas di pantat!” Mak Salamah berteriak sewaktu mencuci baju kotor Yanto.

“Tadi habis main seluncur di sungai Mak”

“Kalau main ya jangan lama-lama”

“Iya Mak”

“Nanti kalau itik belum pulang coba cari di sungai ya!”

“Iya Mak”

__&&&__

 

Musim semakin mendekati kemarau, air sungai mulai surut. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dengan meracuni sungai dengan menyalahgunakan pestisida pembasmi hama padi dengan tujuan bisa menangkap ikan dengan mudah. Yanto kecil sudah paham kepedulian lingkungan menyayangkan hal itu. Harusnya aparat atau pejabat kelurahan bisa mengusut kasus ini sehingga tidak berulang dikemudian hari, begitu pemikiran Yanto. Meskipun kecewa Yanto ikut ambil ikan juga, sayang ikan pada mati sia-sia.

Tahu sungai diindrin (diracun) sama orang tidak bertanggungjawab, Yanto segera mencari itiknya, digiring pulang ke kandangnya untuk menghindari kematian itik-itiknya karena banyak minum dan makan ikan yang terkena racun. Setelah sampai kandang, itik diberi makan bekatul.

Setelah itu Yanto akan memberi tahu teman-temannya. Yanto menemui Yatno dulu dirumahnya sambil bantu mengeluarkan kambing-kambingnya untuk digembala di tanah lapang. Kambing Yatno ada 5 ekor. 2 ekor kambing dewasa betina, 1 kambing dewasa jantan, dan 2 ekor anakan kambing yang masih menyusui induknya.

“Noooo...  Yatno....” teriak Yanto setelah dekat rumah Yatno.

“Ada apa To?” balas Yatno sambil lari keluar rumah.

“Sungai diindrin, ayo cari ikan!”

“Madi, Marno sama Purwanto sudah tahu belum?”

“Belum, saya bantu gembalakan kambingmu dulu baru cari Madi, Marno sama Purwanto” terang Yanto.

Segera mereka berdua ke kandang kambing dibelakang rumah Yatno. Kambing yang diikat cuman 3 ekor yang dewasa, anak-anak kambing 2 ekor yang masih menyusui dibiarkan bebas berkeliaran didalam kandang.

“Saya bawain 1 ekor ya?”  Yanto menawarkan diri membantu.

“Nggak usah, ketiganya biar tali saya bawa jadi satu. Yanto bantu mengawasi dan menggiring anakanya saja kalau-kalau pada lari kemana-mana” jelas Yatno.

Segera mereka berdua menuju tanah lapang tempat biasa Yatno menggembalakan kambing-kambingnya. Dalam perjalanan ke tanah lapang, mereka ketemu Madi, Marno, dan Purwanto.

“Madi, Marno, Pur....” teriak Yanto dan Yatno hampir bergantian.

Madi, Marno dan Purwanto segera berlari mendekati Yanto dan Yatno.

“Sungai diindrin” teriak Madi dan Purwanto.

“Iya, kok kamu semua sudah tahu? Saya sama Yatno baru mau mencarimu”.

“Selesai ngikat kambing di tanah lapang kita cari ikan ya!” ajak Yanto.

“Iya dong... “ balas Madi.

“Yatno... nanti kambingmu jangan deketkan sungai, ntar minum air sungai” teriak Marno.

“Tentu nggaklah...” jawab Yatno.

“Meskipun kita senang sebenarnya sedih juga ya kalau sungai diindrin” Yanto ungkap persaannya.

“Iya, kalau diindrin kan anak-anak ikan yang masih kecil ikut mati semua, kedepannya kalau terus menerus sering diindrin jadi punah ikan di sungai” terang Purwanto.

“Bukan itu saja, burung-burung pemakan ikan dan semua yang hidup disungai serta hewan yang biasa minum air di sungai juga ikut terganggu” jelas Yanto menambahkan.

 “Yaitu, tapi kenapa kok dibiarkan terjadi ya kalau sungai kita sering diindrin orang” protes Madi.

“Harusnya aparat desa atau sesepuh kampung melarang ini, apa perlu kita mengusulkan?” Yanto mengutarakan pendapatnya.

“Ya, bisa lewat bapak-bapak kita” jelas Marno.

Tidak terasa dengan obrolan mereka, mereka sudah sampai di tanah lapang yang dituju. Tanah lapang pinggir sungai yang masih banyak rumput-rumput yang hijau. Yatno mengikat kambing-kambingnya, ditempatkan kambing mereka agak jauh dari bibir sungai, untuk menghindari kambingnya menjangkau air sungai. Nanti kambing-kambing Yatno akan diambilkan minum dari sumur.

Segera Yanto dan teman-temannya menuju ke sungai, bau anyir sungai karena banyak ikan-ikan yang pada mati sangat menyengat.  Sungai yang kebanyakan berisi ikan wader, ikan lele, ikan gabus dan udang itu juga jadi keruh karena banyak orang yang masuk kesungai. Yanto dan kawan-kawan masuk ke sungai, mereka berlima bergabung sama banyak orang untuk mencari ikan.

Ikan berlimpah, banyak juga yang mati karena baru pertama diindrin di musin ini. Yanto dan teman-temannya tahu cuman mengambil ikan yang masih segar’ Setelah dapat ikan yang lumayan banyak juga mereka pulang sendiri-sendiri kecuali Yanto sama Yatno. Yanto bermaksud membanto Yatno ngarit (mencari rumput atau daun-daunan untuk pakan kambing persediaan entar malam) dan menggiring kambing-kambingnya sampai rumah.

“Saya bantu ngarit sama menggiring kambing-kambingmu pulang nanti Yatno” kata Yanto.

“Nggak usah, apa kamu ngggak mencari kayu bakar?”

“Nggak apa, saya nggak cari kayu bakar hari ini, persediaan dirumah masih banyak”

“Baiklah kalau begitu, terimakasih ya”

Selesai membantu Yatno sampai menggiring kambingnya ke rumah, Yanto pulang. Setelah dekat rumah, Yanto teriak-teriak panggil Maknya.

“Mak, Yanto dapat ikan banyak!” teriak Yanto.

 “Jangan makan ikan begituan banyak-banyak, banyak racunnya!” Mak Salamah menasehati Yanto.

“Iya Mak, ini juga sayang ikan mati sia-sia”

“Yang sudah mati dan kaku nggak Yanto ambil kan?”

“Nggaklah Mak, Yanto sudah tahu!”

“Kita masak yang masih bisa hidup dan segar saja!”

“Baik Mak”

__&&&__

 

Musim kemarau sudah berlangsung beberapa bulan, Sungai di pinggir rumah Yanto makin kecil alirannya. Keadaan semacam ini sering dimanfaatkan warga dengan menawu sungai, yaitu membuat petakan di wilayah sungai yang kira-kira banyak ikannya lalu menguras airnya. Tawu biasa dilakukan oleh warga yang sudah dewasa dan orang tua, anak-anak seumuran Yanto hanya jadi penggembira saja. Di musim kemarau kali ini warga enggan menawu, karena kemarin sungai sering diindrin, tentunya ikan yang tersisa kurang banyak. Yanto dan kawan-kawan kangen juga keseruan menangkap ikan sewaktu sungai ditawu.

“Kok sampai sekarang nggak ada orang yang tawu di sungai ya To?’ kata Yatno.

“Warga enggan kali, kemarin-kemarin kan sungai sering diindrin” jawab Yanto.

“Iya kali ya To!”

“Seru ya kalau cari ikan waktu tawu”

“Asyik banget To!”

“Apa kita tawu sendiri sama temen-temen No?” usul Yanto pada Yatno. 

”Boleh, kapan ni?”

“Kita rundingkan dulu sama teman-teman” kata Yanto.

“Iya, kalau nggak sama teman-teman nanti nggak selesai-selesai mengurasnya, lagian nanti jangan lebar-lebar dan jangan ambil sungai yang terlalu dalam” jelas Yatno.

“OK sippp...” Yanto langsung setuju.

Hari yang ditentukan Yanto dan kawan-kawan untuk menawu sungai tiba. Mereka sepakat mengambil hari minggu biar waktunya lebih leluasa. Dengan membawa peralatan cangkul, panci / ember , keranjang / dunak yang sudah tidak terpakai, mereka berlima menyusuri sungai, mencari bagian sungai yang tidak begitu dalam dan lebar tapi kira-kira banyak ikannya untuk lokasi tawu.

__&&&_

 

“Disini saja ya teman-teman!” Teriak Yatno setelah menemukan bagian sungai yang agak dalam dan lebarnya cukupan.

“Ya...., OK..., Sipppp....., Setuju...!!!” jawab Yanto, Madi, Marno dan Purwanto hampir bersamaan.

Yanto dan Yatno yang membawa cangkul segera bergegas membuat tanggul petakan pembatas area yang akan dikuras.

Kalau capek bilang ya No!, To!” kata Purwanto

“Iya, gantian nanti” Marno menimpali.

“Beresss..” jawab Yanto.

Memang mereka 5 sekawan selalu kompakan dalam segala hal. Mereka mulai menawu kira-kira hampir jam 10, diperkirakan nanti habis dhuhur bisa mulai mencari ikannya.

Waktu dhuhur hampir tiba, tapi air yang dikuras masih lumayan banyak. Mereka berhenti menguras setelah kelihatan ikan-ikan dipermukaan air dan ditandai dengan adanya ikan yang kelihatan meloncat-loncat.

“Sudah hampir dhuhur ni, Madi dan Purwanto, rumahmu yang paling jauh pulang duluan shalat dhuhur dan makan siang. Entar gantian Marno dan Yatno, saya belakang saja” kata Yanto mengingatkan teman-temannya.

“Iya, saya setuju” jawab Yatno.

Mereka semua setuju usulan Yanto. Madi dan Purwanto pulang duluan. Setelah giliran terakhir Yanto pulang untuk shalat dhuhur dan makan siang, air yang dikuras tinggal sedikit dan ikan-ikan mulai kelihatan dipermukaan air.

“Yanto, sudah begini ni, apa kita mulai saja cari ikannya?” Purwanto sudah nggak sabar untuk mencari ikan.

“Iya, bisa. Lumpur kita aduk-2 nantikan ikan-ikan keluar” jawab Yanto.

“Ayooo......” jawab teman-teman Yanto semua.

Mereka sekarang asyik mencari ikan. Ikan yang didapat masing- masing anak dikumpulkan sendiri-sendiri. Ikan yang didapat disusun dengan mengikat pakai tali batang ilalang dari lubang insang sampai keluar mulut. Alhamdulillah ada lumayan ikan di area tawu Yanto dan kawan-kawan. Ditengah-tengah mereka asyik mencari ikan, tiba-tiba.....

“Aduh..., saya kepatil ikan Lele” kata Madi

“Gimana Madi?” tanya Purwanto.

“Ini telapak tangan saya yang dipatil” jawab Madi.

“Sudah nggak apa-apa, cuman nanti terasa pegal” jelas Marno.

Waktu jelang azar, ikan yang didapat masing-masing anak lumayan banyak. Yanto paling banyak mendapat ikan.

“Ayo kita sudahi cari ikannya, sudah jelang azar ni....” kata Yanto.

“Kalau kemarin-kemarin sungai nggak sering diindrin tentu dapat ikannya lebih banyak dan lebih besar-besar lagi ya?!” kata Purwanto.

“Iya, ayo, jangan lupa bendung yang kita buat dibongkar kembali” Yatno mengingatkan.

“Madi, kamu paling sedikit dapat ikannya” kata Purwanto.

“Iya, habis kepatil tadi jadi susah dan enggan pegang ikan” jawab Madi.

“Saya tambahin ikan saya Madi” kata Yanto.

“Nggak usah Yanto, terimakasih”

“Nggak apa, anggota keluargamu kan lebih banyak, saya cuman sama Emak” jelas Yanto sambil langsung memberi sebagian ikannya pada Madi.

“Ya sudah, terimakasih Yanto” jawab Madi.

“Lha... kalau ikan hasil tawu begini lebih sehat daripada hasil diindrin seperti kemarin” kata Yatno.

__&&&__

 

Sore itu, Yatno, Madi, Marno dan Purwanto sudah berkumpul di rumah Yanto. Ada pertandingan Bola Volly antar Desa di Lapangan Kecamatan. Tiap jelang 17 Agustus di Lapangan Kecamatan diselenggarakan berbagai Lomba antar Desa, diantaranya Sepak Bola dan Bola Volly. Kebetulan hari ini jadwal Desa Yanto tanding Bola Volly sama Desa sebelah. Mereka berencana naik sepeda ke Lapangan Kecamatan bersama-sama.

Sepeda Yanto kecil, dibelikan bapaknya sewaktu kelas 2 SD. Waktu itu juga Yanto baru diajari pak Sukaryo / bapaknya naik sepeda. Karena itu jugalah teman-teman Yanto ke rumah untuk menawarkan boncengan pada Yanto.

“Ya sudah, saya bonceng Yatno saja, sepeda Yatno kan agak kecil, nanti saya bisa bantu kayuh dari belakang”

“OK Yanto, sipppp...” jawab Yatno.

“Ayo, kita langsung cusss saja” ajak Purwanto.

“Ayo-ayo... pamit Mak dulu Yanto” kata Madi.

“Mak... Yanto dan teman-teman mau lihat pertandingan Bola Volly di Lapangan Kecamatan.. “ Teriak Yanto.

Lapangan Kecamatan sudah ramai, pertandingan Bola Volly sudah dimulai. 2 Desa yang bertanding sama-sama banyak pendukung. Setelah memarkir sepeda mereka, Yanto dan teman-teman langsung menerobos diantara penonton lain masuk mencari tempat paling depan dekat lapangan. Belum ada 15 menit Yanto menyaksikan pertandingan, set pertama sudah selesai yang dimenangkan Desa Yanto.

“Kita tengok pertandingan Sepak Bola yuk..” usul Marno.

“Nggak usah..., nggak seru kalau nggak team desa kita yang main, lagian nanti terlambat lagi lihat Vollynya” kata Purwanto.

“Kalau saya sih lebih seru pertandingan Sepak Bola” sanggah Marno.

“Iya-iya, calon pemain Sepak Bola” Ledek Madi pada Marno yang memang maniak Sepak Bola.

Marno memang paling pandai main sepak bola. Dia jadi kapten di team sepak bola di sekolahnya.

“Cita-citamu jadi pemain Bola ya Marno?” sambung Madi.

“Iya dong..... kalau kamu?“ jawab Marno.

“Cita-citaku jadi Tentara” jawab Madi.

“Ehhh... jadi ngomongin cita-cita, kalau kamu Yatno, Purwanto, Yanto, cita-cita kamu jadi apa? Tanya Marno.

“Tukang Insinyur lah.. “ jawab Purwanto.

“Kalau aku pengin dagang saja, tinggal kamu Yanto” kata Yatno.

 “Semua cita-cita itu bagus, intinya yang terbagus itu kita yang paling bermanfaat pada orang lain disekitar kita” terang Yanto menirukan nasehat Maknya.

“Lha emang cita-cita kamu apa Yanto?” teman-teman Yanto hampir bersamaan menanyakan cita-cita Yanto.

“Jadi apa saja, yang terpenting ingat itu..., keinginanku selalu diberi kekuatan Iman Islam, kelancaran berfikir dan keberkahan rizki” jelas Yanto yang terinspirasi oleh nasehat Bapak dan Maknya.

“Aamiiin-aamiiin” teman-teman Yanto kompakan menjawab.

Pritt..... peluit tanda pertandingan Bola Volly set kedua dimulai. Belum selesai Yanto mengungkapkan cita-citanya, peluit pertanda pertandingan volly segera dilanjutkan. Yanto dan teman-teman berhambur mencari tempat menonton.

__&&&__

 

3

KANGEN BAPAK

 

“Di benakku sudah tidak peduli dengan seseorang yang mungkin akan peduli kepadaku, Aku sudah tidak bisa menggambarkan sosok seorang Bapak... “

 

“Kapan Yanto bisa khitan Mak?”

“Kalau nunggu Bapak pulang kapan Mak?”

”Bapak sudah tidak peduli sama kita ya Mak?!”

Lama tidak ada kabar bapaknya,  membuat Yanto merasa jengkel, benih kejengkelannya bertambah ketika Emaknya menjanjikan khitanan Yanto nunggu bapaknya pulang.

“Yanto sudah kelas 6 Mak, teman Yanto sudah khitan semua, besuk kalau sudah SMP Yanto belum khitan kan malu Mak!” Demikian rentetan rajukan dan permohonan Yanto pada Emaknya.

Sejak masih duduk di kelas 5 SD sebetulnya Yanto sudah minta dikhitan, Mak Salamah menjanjikan nunggu Bapaknya pulang. Sebenarnya berat bagi Mak Salamah menghadapi sikap Yanto yang mulai kritis sendirian tanpa ada suaminya dan bingung serta kawatir kenapa juga suaminya belum ada kabar, apalagi kabar kapan suaminya bisa pulang.

Mak Salamah jadi mengambil keputusan sendiri yang seharusnya dilakukan bersama Pak Sukaryo suaminya. Kekawatiran Mak Salamah tentang kesalahpahaman Yanto pada bapaknya lebih besar dibanding kekhawatiran terhadap suaminya yang tidak ada kabar. Yang bisa Mak Salamah sampaikan pada Yanto harus selalu berfikir positif, jangan sampai suudzon pada bapaknya sendiri.

Sementara Yanto, kerinduan yang mendalam pada bapaknya membuatnya jengkel. Jika Mak Salamah tidak meluruskan pemikiran Yanto bisa-bisa kejengkelanya menjadi kebencian. Usia Yanto yang mulai menginjak remaja juga mendukung pergolakan batinnya yang menyimpan rindu dendam pada bapaknya. Hanya pondasi agama yang bagus dan nasihat Mak Salamah yang membantu Yanto bisa berfikir positif. Beruntung Yanto mempunya Mak seperti Mak Salamah, meskipun hanya tamat SMP, tapi kefamahaman Mak Salamah pada agama lumayan bagus karena sewaktu bersekolah SMP sekaligus Mak Salamah tinggal di Pondok Pesantren, dan Mak Salamah dulu jadi Santriwati berprestasi.

“Ya sudah, Libur kelulusan SD sebelum masuk SMP besuk Yanto khitan”

“Jangan sekali-kali berfikir bapakmu tidak peduli, kan kita juga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada bapak kamu”

Setelah diberi pengarahan dan janji khitan saat libur kelulusan SD besuk sama Mak Salamah, Yanto merasa lega. Sekarang konsentrasi menghadapi ujian kelulusan SD dulu, begitu fikir Yanto. Sebenarnya Yanto anak yang taat, mudah diberi pengarahan sama kedua orang tuanya. Sebelum Pak Sukaryo pergi merantau, Yanto juga sangat dekat dengan bapaknya. Pak Sukaryo pun sangat menyayangi Yanto anak semata wayangnya.

 __&&&__

 

Suatu hari Lik Taripin adik dari bapaknya Yanto datang menjenguk Yanto dan Mak Salamah. Kebetulan hari-hari sebelumnya Mak Salamah yang mau menemui Lik Taripin untuk mengabari keinginan Yanto dikhitan.

“Panjang umur, aku rencana meh wae menemui kamu” Mak Salamah buru-buru menyapa Lik Taripin sebelum mengucap salam, mengatakan punya rencana menemui Lik Taripin.

“Assalamu‘alaikum” Lik Taripin mengucap salam. “Piye kabare Yu? Kang Karyo wis ono kabar durung?” lanjut Lik Taripin menanyakan kabar kakaknya yang merantau.

“Waalaikumsalam”

“Alhamdulillah baik, Kangmasmu durung ono kabar

 Iki tak gawakke jagung manis Yu” Lik Taripin membawakan oleh-oleh buat Mak Salamah dan Yanto sambil menurunkan jagung manis dari boncengan sepeda kumbangnya.

“Iyo, matur suwun, dewean wae?!”

“Terus meh karo sopo Yu?”

Makane, kapan awakmu nikah meneh?” Mak Salamah menjawab langsung bertanya yang bermaksud menganjurkan adik iparnya segera nikah lagi.

“Doa’akan saja Yu!”

Lungguh kene” Mak Salamah mempersilahkan duduk Lik Taripin di kursi tamu sambil Mak Salamah duduk duluan.

“Sejak Kang Karyo merantau yang menyangkulkan kebun siapa Yu? Kok nggak nyuruh saya saja” Lik Taripin menawarkan diri untuk membantu.

Matur suwun, yang menyangkulkan Lik Sukir, nyangkul cuma segaleng dua galeng saja, sama yang dekat sini saja”

Mak Salamah sudah menganggap Lik Taripin yang adik tunggal Sukaryo suaminya seperti adiknya sendiri, tapi Mak Salamah nggak mau merepotkan adik Iparnya, belum lagi repot kasih kabar karena Desanya lumayan jauh. Mak Salamah jalan ke dapur sebentar buat seduhkan kopi Lik Taripin. Sambil bicara dengan Lik Taripin, Mak Salamah membuatkan kopi.

“Kang Karyo kok raono kabar blas ki kenopo yo Yu?” tanya Lik Taripin yang sebetulnya juga kawatir dengan tidak adanya kabar Pak Sukaryo.

Mbuh yo, mugo-mugo wae ora ono opo-opo, do’ake wae sing apik” jawab Mak Salamah juga nggak tahu, semoga nggak terjadi apa-apa dan do’akan saja yang terbaik.

Iki kopine karo diombe!, kopine kendel, ora ono koncone” Mak Salamah menyodorkan segelas kopi panas dimeja depan Lik Taripin tanpa ada makanan ringan pendamping dengan mengatakan kopinya berani, nggak ada temannya.

“Oh ya, minta tolong besuk kalau Yanto khitan saja, tolong boncengkan ke Mantri khitan” pinta Mak Salamah sambil duduk di seberang kursi Lik Taripin.

“O o...  soal kuwi sing diomongke Yu Salamah akan menemui Taripin tadi?” Lik Taripin menebak keperluan Mak Salamah yang tadi bilang mau menemuinya.

Lha iyo, Yanto sudah nggak sabar nunggu bapaknya pulang, isin yen nganti SMP durung khitan” Mak Salamah menjelaskan kalau Yanto bilang akan malu kalau sudah SMP belum khitan.

“Kapan Yanto khitan Yu?’

“Besuk kalau libur selesai kelulusan SD, minggu depan sudah ujian”

Yo Yu, sesuk yen wis pasti tanggale Taripin dikabari” Lik Taripin minta dikabari kalau tanggal khitan Yanto sudah pasti. “Yanto ning ngendi Yu?” lanjut Lik Taripin menanyakan keberadaan Yanto.

Paling dolan karo konco-koncone” Mak Salamah bilang Yanto tentu main sama teman-temannya.

“Bagaimana Yanto Yu, dengan tidak ada kabar dari bapaknya?”

Iyo kuwi, Yanto dadi koyo jengkel karo bapake” Mak Salamah menjawab kalau Yanto jadi merasa jengkel sama bapaknya.

Yo dikandani sithik-sithik Yu, Yanto durung ngerti perjuangane bapake” Lik Taripin mencoba memberi saran pada Mak Salamah untuk menasehati Yanto pelan-pelan.

Lha iyo, yen Yanto pas omong jengkel karo bapake yo tak jelaske permasalahane sing bener, sak untoro iki yo isih iso diomongi” Mak Salamah mengatakan telah menjelaskan hal yang benar ke Yanto mengenai bapaknya. Sementara ini Yanto masih bisa dinasehati.

Yo mugo-mugo wae Yanto menyadari keadaan bapake” Lik Taripin mendo’akan supaya Yanto menyadari keadaan bapaknya.

“Aamiiin, podo dongo-dinongo wae” Mak Salamah memohon saling mendo’akan saja.

 “Ya sudah Yu, aku balik disik, salam kanggo Yanto” Lik Taripin berpamitan pulang.

Ora nunggu Yanto balik?” Mak Salamah menanyakan, apa tidak nunggu Yanto pulang?

Ora Yu, ra ngerti Yanto balike kapan, selak Maghrib ora nyandak tekan omah” Lik Taripin berpamitan tanpa menunggu Yanto pulang, takut sampai rumah sudah kelewat maghrib.

Yo wis, matur suwun wis niliki mbakyumu ugo matur suwun wis digawakke jagung manis, iki ora iso ganti gawakke opo-opo” Mak Salamah mengucapkan terimakasih sudah dijenguk dan dibawakan jagung, tidak bisa ganti membawakan apa-apa.

Iyo Yu, podo-podo, ora usah mikir oleh-oleh kanggo wong legan koyo aku, assalamu alaikum” Jawab Lik Taripin dengan mengatakan tidak usah repot bawakan oleh-oleh buat orang sendirian seperti dirinya. Ada kelegaan Lik Taripin setelah tahu kondisi kakak ipar dan keponakannya baik-baik saja selama ditinggal merantau oleh Sukaryo kakaknya.

“Waalaikum salam” Mak Salamah beranjak mengikuti Lik Taripin ke depan rumah dan memandang kepergian adik suaminya sampai hilang dari pandangan.

Sampai Lik Taripin pulang, Yanto belum pulang juga. Sebenarnya Mak Salamah juga merasa heran dengan perubahan sikap Yanto akhir-akhir ini. Yang bisa dilakukan Mak Salamah berusaha makin mendekati Yanto dengan lebih sering berkomunikasi dan tidak lupa selalu mendo’akan.

__&&&__

 

Lik Taripin adik tunggal dari pak Sukaryo sebenarnya sudah pernah menikah. Istrinya meninggal sewaktu melahirkan anak pertamanya. Bayi yang dilahirkan juga ikut meninggal. Jadi ibu dan bayi tidak bisa diselamatkan sewaktu proses persalinan. Sampai saat ini sudah hampir 5 tahun dari saat istri dan anaknya meninggal, Lik Taripin belum menikah lagi.

Mak Salamah sudah sering menyarankan Lik Taripin untuk segera menikah lagi. Tapi Lik Taripin masih belum mau atau mungkin ada trauma. Jadi selama ini Lik Taripin hidup sebatang kara karena kedua orang tuanya (yang merupakan nenek dan kakek Yanto dari bapaknya) sudah meninggal.

Lik Taripin bekerja sebagai petani. Mengerjakan sawah dan kebun peninggalan orang tuanya. Hasil bercocok tanamnya / saat panen, Pak Sukaryo - Mak Salamah selalu diberi bagihan.

__&&&__

 

Yanto sudah Lulus SD dengan Prestasi yang bagus, Ranking 1 di sekolahnya. Minggu depan pendaftaran siswa baru di SMP Negeri tiba. Yanto dan teman-temannya sudah berjanji untuk berangkat bersama tanpa diantar orang tuanya masing-masing, mereka semua terbiasa mandiri. Bukannya orang tua mereka tidak peduli, tapi mendidik membiasakan mereka mandiri sejak kecil.

Dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang tertinggi di SD nya, Yanto bisa masuk SMP Negeri I di kota kecamatan. Alhamdulillah keempat teman Yanto yaitu Yatno, Madi Purwanto dan Marno juga bisa masuk di SMP Negeri I.

Kebanggan Ranking 1 kelulusan SD dan bisa masuk SMP Negeri I itu masih ada kekosongan dihatinya Yanto karena dia merasa bapaknya tidak mengetahui. Mak Salamah juga ikut merasakan perasaan Yanto. Yanto jadi pendiam dan tidak seriang dulu seperti sewaktu bapaknya masih ada di rumah. Mak Salamah berusaha terus mendekati Yanto untuk mengetahui apa keinginan-keinginannya.

”Bagaimana kalau khitanmu minggu depan Yanto?”

“Baik Mak, kapanpun Yanto siap-siap saja, keburu nanti masuk SMP Mak!”

“Ya sudah, besuk pulang dari pasar Mak langsung ke rumah Pak Lik kamu”

“Yanto minta dibelikan apa buat persiapan khitan?”

“Nggak usah Mak, biar Yanto sendiri yang beli”

“Besuk kalau sekolah SMP Yanto butuh sepeda Mak!”

“Iya, Mak tahu, SMP kan jauh, ke kota Kecamatan, sepeda pembelian bapakmu kan kecil, buat belajar Yanto kecil dulu”

__&&&__

 

Hari Yanto dikithan tiba. Yanto sudah siap nunggu jemputan Lik Taripin. Sementara Mak Salamah masih sibuk menyiapkan masakan buat selamatan. Acara selamatan cuman berupa besek Nasi dengan mengundang bapak bapak tetangga buat mendo’akan.

Begitu Lik Taripin datang, langsung ijin sama Mak Salamah untuk segera berangkat ke Mantri Khitan.

“Jangan tergesa, nggak sarapan dulu?”

“Sudah sarapan Yu, biar cepat dapat antrian pertama”

Yanto bonceng sepeda Kumbang Lik Taripin. Dalam perjalanan Yanto membayangkan kalau Lik Taripin itu bapaknya.

“Bapak itu bagaimana ya Lik?” kegundahan Yanto sama bapaknya dicoba disampaikan pada Lik Taripin.

“Bagaimana gimana?” Lik Taripin pura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Yanto

“Kok belum ada kabar, sudah tidak peduli sama Yanto dan Mak ya?”

“Jangan berfikir seperti itu, kita belum tahu bapakmu disana gimana, do’akan  saja” Nasehat Lik Taripin senada dengan Nasehat Mak Salamah.

“Tapi ... ”

“Dulu bapakmu amat sayang pada Yanto kan?” Lik Taripin segera menjawab protes Yanto sebelum selesai.

“Yanto masih ingat dulu bapak gimana, do’akan saja bapakmu baik baik saja dan bisa segera pulang, syukur syukur bisa membawa hasil kerja diluar kota buat modal kerja di kampung, juga untuk kebutuhan sekolah Yanto” Panjang lebar Lik Taripin menasehati keponakannya.

Meskipun Yanto tidak mengundang teman-teman sekolahnya, teman dekat Yanto yaitu Madi, Marno, Yatno dan Purwanto datang ke rumah. Mereka sudah menunggu di rumah, sementara Yanto belum datang dari Mantri khitan.

Sesuai keinginan Lik Taripin untuk berangkat pagi ke Mantri khitan, Yanto dapat antrian pertama untuk dikhitan hari ini. Sampai selesai khitan Yanto berjalan dengan lancar. Sesampai di rumah, Yanto sudah disambut oleh teman-temannya.

“Yanto, ayo main bola” Marno candain Yanto yang baru selesai khitan.

“Iya, ayoooo...” Madi menimpali sambil menarik tangan Yanto.

“Yanto jadi kiper saja apa?” Yatno tidak paham kalau itu cuman candaan Marno.

Sementara Purwanto hanya senyum-senyum saja melihat tingkah polah teman-temanya mencandain Yanto.

“ E e e... jangan main bola dulu” Mak Salamah juga tidak paham candaan teman teman Yanto.

“Nggak Mak, cuma candaan doang” Madi menjelaskan.

Belum ada satu minggu, khitan Yanto sudah sembuh. Yanto bisa bermain dengan leluasa lagi bersama teman-temannya seperti biasa. Libur tahun ajaran baru kali ini selama hampir 1 bulan.

Sementara itu, sampai hari libur hampir habis, Mak Salamah belum bisa belikan Yanto sepeda. Yanto di terima di SMP Negeri I di Kota Kecamatan yang jaraknya 5 KM  lebih.

“Yanto, kalau Mak dapatnya sepeda nggak baru gimana?”

“Nggak apa Mak, yang penting bisa dipakai” Yanto memahami dan menerima apapun dari Maknya. Kesederhanaan Mak Salamah juga menjadi tauladan Yanto.

Akhirnya Mak Salamah dapat sepeda Onta dari bu Sri tetangga satu RT. Sebetulnya bu Sri mau memberikan cuma-cuma pada Mak Salamah. Tapi Mak Salamah masih menanyakan berapa harganya, maka bu Sri jawab terserah Mak Salamah saja. Bu Sri juga paham dan tahu betul sifat Mak Salamah yang merasa enggan dan nggak enakan kalau dibantu.

Sebetulnya Yanto belum cukup tinggi untuk naik sepeda Onta dengan duduk di sedelnya. Saat posisi jalan tanjakan Yanto harus mengayuh sepeda tanpa duduk di sedelnya. Meski begitu Yanto tetap bersyukur dan ceria naik sepeda itu.

__&&&__

 

Kini Yanto sudah duduk di kelas 2 SMP. Berarti sudah hampir 4 tahun Yanto ditinggal bapaknya. Yang dirasakan Yanto saat ini pergolakan batinnya terus terjadi. Perasaan rindu dendam dan jengkel pada bapaknya bercampur aduk jadi satu.

Keadaan itu membuat prestasi belajar Yanto sejak dari awal masuk di SMP menurun. Yanto sering mengungkapkan perasaan kegelisahan, kekesalanya dengan menulis pada halaman belakang buku catatan pelajaran.

Diantara coretan-coretan perasaan kegelisahan; kekesalannya itu sebagai berikut :

 

Yang kini kurasakan adalah sebuah emosi yang sulit untuk dijelaskan, sangat sulit untuk ku mengerti walau kadang emosi ini sungguh melelahkan.

Terkadang aku bertanya-tanya “mengapa hal ini bisa terjadi padaku?”

Padahal aku tau jawaban itu.

Terkadang aku berpikir “apa langkah untuk bisa menyelesaikannya?’

Padahal aku tau cara nya.

Apa mungkin ini adalah perasaan hati yang dilanda sepi?

Atau mungkin ini adalah kekosongan hati yang sudah lama tidak merasakan “Kasih Sayang Bapak”.

Apa yang nanti aku rasakan setelah emosi ini mulai memudar?

Apakah perasaan yang mati?

Atau perasaan yang mulai tumbuh?

Bertahan? Apa mungkin bisa?

 

Di benakku sudah tidak peduli dengan seseorang yang mungkin akan peduli kepadaku, Aku sudah tidak bisa menggambarkan sosok seorang Bapak... setelah bertahun-tahun menghilang tanpa kabar semakin yakin kalau dia telah membuangku begitu saja. Pantaskah aku memanggilnya Bapak?

Pantaskah aku merindukannya?

Atau bolehkah  aku membencinya?

Semua pertanyaan itu muncul dalam pikiranku! Mencari jawaban setiap pertanyaan itu dan kepada siapa aku bertanya?

Dan kemana harus ku cari?

Apakah dia juga berpikir seperti apa yang aku pikirkan?

Jika semua itu benar, mengapa dia tidak mencariku?

Mengapa dia tega melakukan semua itu?

Dan mengapa dia menciptakan rasa benci antara seorang bapak dan anaknya?

Semua itu membutuhkan jawaban! Dan sekali lagi kepada siapa aku bertanya?

Kemana aku harus ku cari?

Aku adalah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang lebih dari bapaknya, aku ingin dipeluk, dijaga, dan dirawat oleh “Sosok Bapak”.

Bisakah aku mendapatkannya lagi seperti dulu?

 

Begitulah curahan hati Yanto yang ditulis. Tidak ada orang yang tahu mengenai tulisan-tulisan itu, termasuk Mak Salamah. Tetapi Mak Salamah bisa merasakan perasaan Yanto dengan percakapan sehari-hari. Komunikasi itu yang Mak Salamah bisa lakukan supaya selalu dekat dengan Yanto. Sementara menjadi orang tua tunggal, Mak Salamah sadar dengan kondisi Yanto, dan tidak mau Yanto juga jauh darinya.

Untuk meredam kejengkelan Yanto pada bapaknya, Mak Salamah sering menceriterakan tentang betapa sayangnya Pak Sukaryo pada Yanto. Mak Salamah juga menceriterakan sebelum Yanto lahir, Mak Salamah susah hamil. Setelah sekitar tiga tahun menikah baru bisa hamil. Namun sempat mengalami keguguran dua kali karena kandungan Mak Salamah yang lemah. Alhamdulillah hamil yang ketiga selamat dan terlahirlah Yanto. Hari-hari pertama sewaktu Yanto baru lahir, Pak Sukaryo yang merawat Yanto, karena kondisi Mak Salamah yang lemah.

Begitulah betapa sayangnya Pak Sukaryo pada Yanto anak semata wayangnya. Pak Sukaryo menginginkan Yanto bisa berpendidikan tinggi, harus lebih baik dari dirinya, begitu tekat Pak Sukaryo. Pak Sukaryo merantau untuk mencari modal usaha dan menabung buat keperluan sekolah Yanto.

 

4

LELAKI TERLANTAR ITU

 

“Berserah diri pada Allah dengan ketentuann-Nya atau kita mau  Allah melayani dengan ketentuan kita? Tentu saja ketentuan-Nya akan lebih baik”

 

 

“Assalamu‘alaikum, Mak Salamah....   Mak Salamah....  ” Bu Arifah tampak keburu mencari Mak Salamah.

Sudah jelang Maghrib rumah Mak Salamah masih kosong. Mak Salamah dan Yanto masih sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Mak Salamah baru jalan pulang dari kebun, dengan membawa hasil panen hari ini. Ada cabai, kunyit, jahe, serai, lengkuas untuk dijual ke pasar esok hari. Sementara Yanto baru menggiring itiknya yang masih di sungai untuk diarahkan pulang ke kandangnya. Seringnya itik-itik itu pulang sendiri, kalau terlambat pulang begini mungkin itik-itik itu kurang mendapat makanan hari ini.

Bu Arifah mondar mandir sampai masuk rumah Mak Salamah. Setelah Mak Salamah sampai rumah, agak terkejut ada Bu Arifah didalam rumah. Bu Arifah segera mengucapkan salam, lalu menyampaikan kabar yang mengagetkan Mak Salamah.

“Apa???...  ” Mak Salamah seolah tak percaya sama berita dari Bu Arifah.

“Innalillahi,,, “ lanjutnya sesaat.

“Bapaknya Yanto kan merantau ke luar kota, nopo leres niku Kang Karyo?” Mak Salamah masih belum percaya.

“Besuk Mak Salamah ikut ke Rumah Sakit bareng saya” Bu Arifah menyarankan dan menawarkan tumpangan. “Berangkat jam 6 pagi ya Mak” lanjut Bu Arifah. Selesai menyampaikan berita itu, Bu Arifah berpamitan pada Mak Salamah.

“Sudah jelang maghrib, pamit pulang dulu Mak, sampai ketemu besuk pagi!” Bu Arifah tergesa berpamitan karena sudah menjelang Maghrib.

Bu Arifah, tetangga yang rumahnya dimulut Gang kampung Mak Salamah bekerja di RSUD Kota Kabupaten. Mengabarkan ada Lelaki tanpa identitas korban Tabrak lari Bus yang wajah dan perawakannya mirip sama Pak Sukaryo suami Mak Salamah. Lelaki itu siang tadi dimasukkan di RSUD, dan Bu Arifah ikut merawat.

Yanto terlambat mendengar percakapan Mak Salamah dan Bu Arifah. Setelah memasukkan itiknya ke kandang, Yanto harus memberi makanan tambahan.

“Ada berita apa dari Bu Arifah, Mak? Tanya Yanto.

“Ada bapak-bapak korban tabrak lari Bus dirawat di RSUD, kata Bu Arifah wajah dan perawakan mirip bapakmu” jelas Mak Salamah.

“Ya sudah, besuk Mak harus tengok”

“Ya iya, Bu Arifah sudah mengajak Mak besuk berangkat bareng Bu Arifah masuk kerja”

“Yanto juga ingin segera ketemu bapak Mak!”

“Besuk jangan dulu, itu kan belum tentu bapakmu, bisa jadi Bu Arifah salah”

“Besuk-besuk kalau benar itu bapakmu dan masih butuh perawatan di RSUD nanti gantian sama Mak untuk menjaganya” lanjut Mak Salamah.

“Ya Mak!”

“Ayo cepat mandi sana, hampir adzan Maghrib ini” Mak Salamah mengingatkan.

__&&&__

 

Malam itu Mak Salamah dan Yanto gelisah. Sehabis makam malam, Mak Salamah dan Yanto kembali membicarakan perihal berita dari Bu Arifah jelang maghrib tadi. Keraguan, kesedihan bercampur aduk di hati dan fikiran Mak Salamah dan Yanto. Apa benar itu Pak Sukaryo???

“Tidur dulu Yanto, nanti malem Tahajud do’akan bapak”

“Baik Mak” Jawab Yanto singkat dan bergegas menuju kamar.

Lewat tengah malam Mak Salamah yang semalaman hanya sebentar tidur membangunkan Yanto untuk diajak shalat Tahajud. Mereka shalat tahajud sampai waktu adzan Subuh hampir tiba. Saat adzan subuh, Mak Salamah dan Yanto pergi ke Mushalla bersama.

Selesai adzan, di Mushalla para jamaah sambil menunggu jamaah lain datang, mengumandangkan puji pujian dengan nada sedih (swan song), menambah kesedihan Mak Salamah dan Yanto.

 

Lailaha illallah...

Muhammadur rosulullah..

Nawaitu an ukira...

Kalimataini Syahadataini...

Wujuda ilmu wuri...

Pamarotan wahidatain...

Sejatine sinembah kelawan puji...

Iyo iku kang aran iman...

Iyun-iyun iyun badan...

Sing diniyun susahing ati...

Badan siji ginowo mati...

Dhateng ndonyo nglampahi dosa...

Dhateng akherat dipun sikso...

Ya Allah Tuhan nyuwun ngapuro...

Pundi margine dumugi suwargo...

Babatono paculono...

Ojo babati kudi kelawan pacul...

Babatono puji kelawan dzikir...

 

Selesai shalat Subuh sambil jalan bersama, Mak Salamah dan Yanto saling diam dengan pikirannya masing-masing mengenai suami dan ayahnya. Sesampai di rumah Mak Salamah menyiapkan sarapan dan bersiap-siap ikut Bu Arifah ke RSUD Kota. Sementara Yanto seperti biasa tilawah dan melanjutkan belajar sebentar.

“Yanto, Mak berangkat ke RSUD sama Bu Arifah”

“Baik-baik di rumah ya, telur itik nanti jual saja, bisa buat keperluanmu, uang Mak bawa semua kalau-kalau diperlukan di Rumah Sakit” Mak Salamah berpamitan pada Yanto.

Tanpa meninggalkan uang buat Yanto, karena uang seadanya Mak Salamah dibawa semua buat jaga jaga keperluan di RSUD.

“Baik Mak, hati hati Mak!” Yanto mencium tangan Mak Salamah sambil mengantar sampai depan rumah. Setelah itu seperti biasa, Yanto segera menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah.

Mak Salamah sampai di rumah Bu Arifah, sebelum mengucapkan salam tidak berapa lama Bu Arifah keluar dari rumah dan mobilnya yang disopiri Pak Rahmat sendiri keluar dari garasi. Tiap harinya Bu Arifah berangkat ke RSUD diantar pakai mobil oleh Pak Rahmat suaminya.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikummussalam, pagi Mak!”

“Pas Mak, mari Mak langsung masuk mobil” lanjut bu Arifah.

Bu Arifah dan Mak Salamah segera masuk mobil. Didalam perjalanan ke RSUD Bu Arifah menceritakan lebih detail kondisi Lelaki tanpa identitas korban tabrak lari Bus pada Mak Salamah. Bu Arifah meyakini kalau Lelaki itu Pak Sukaryo suami Mak Salamah. Sementara Mak Salamah belum begitu yakin kalau itu suaminya, karena suaminya ijin merantau kerja di luar kota.

Dalam perjalanan ke RSUD, Mak Salamah lebih banyak diam, untuk terus berdo’a yang terbaik buat Kang Karyo suaminya. Yang terbaik buat Yanto kalau sampai terjadi hal terburuk pada bapaknya. Mak Salamah harus mewujudkan cita-cita Pak Sukaryo yang sesuai dengan cita-cita Yanto sendiri untuk menyekolahkan Yanto sampai Perguruan Tinggi. Bu Arifah faham, diamnya Mak Salamah tentu lagi banyak fikiran.

“Ya sudah Mak, jangan dipikir jauh lebih dulu, pastikan nanti setelah melihat, itu benar Pak Sukaryo atau bukan” Bu Arifah mencoba menenangkan Mak Salamah.

__&&&__

 

Sedang di rumah,  Yanto menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Dikasih makan itiknya dengan bekatul yang dicampur sedikit air, kadang ditambah dengan nasi sisa kemarin kalau ada, ditahan itiknya sejenak sebelum dikeluarkan dari kandang, supaya kalau ada yang terlambat bertelur masih ada didalam kandang. Selain itik, Yanto juga memberi makan ayam-ayamnya. Tidak ada kelapa yang harus dikupas serabutnya, sehingga tidak banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan Yanto pagi ini. Sambil menunggu melepas itiknya, Yanto termenung sesaat teringat bapaknya. Kesunyian pagi, hanya kokok ayam jantan dan kotekan ayam betina yang bertelur yang meramaikan suasana. Dengan kokokan dan kotekan ayam itu yang menambah suasana hati dan perasaan Yanto makin tidak menentu.

Sesaat kemudian, Yanto membuka kandang itik, itik-itik pada berhamburan keluar menuju ke sungai. Yanto memunguti telur-telur itik dikandangnya. Telur-telur itu akan Yanto jual ke Mak Ijah penjual sayur dan bumbu dapur. Ada 6 butir telur, lumayan buat uang saku Yanto dan persediaan keperluan rumah selama ditinggal Mak Salamah. Yanto segera mandi untuk berangkat ke sekolah dan harus mampir ke warung Mak Ijah untuk menjual telur itik.

__&&&__

 

Di ruang ICU RSUD Mak Salamah memperhatikan Lelaki korban tabrak lari bus itu. Diperhatikan mukanya lebam-lebam dan sisi sebelah kanan ada luka, memang ada kemiripan sama Sukaryo suaminya. Diperhatikan perawakan tubuh, kaki dan warna kulitnya sama persis dengan suaminya. Mak Salamah jadi galau. Untuk menenangkan, dimantapkan hati Mak Salamah kalau Lelaki itu suaminya. Mungkin karena mukanya lebam jadi tidak seperti wajah Kang Karyo biasanya, begitu batin Mak Salamah. Sejak masuk RSU kemarin Lelaki tanpa identitas itu sudah dalam keadaan pingsan dan divonis gegar otak.

Bu Arifah menyusul ke ruang ICU untuk menemui Mak Salamah. Sambil melihat kondisi Lelaki korban tabrak lari bus itu, Bu Arifah menanyakan kepastian siapa Lelaki itu pada Mak Salamah.

“Benarkan itu pak Sukaryo Mak?” Bu Arifah minta kepastian sama Mak Salamah.

“I... iiya bu, itu suami Mak” Jawab Mak Salamah masih dengan keraguan sambil memantapkan hati.

“Malam ini saya nunggu ‘bapaknya Yanto’ dulu bu, besuk baru pulang kasih kabar dan menyiapkan keperluan Yanto selama saya tinggal”

“Ya sudah, Mak Salamah yang tabah ya, nanti saya bantu klaim asuransi buat biaya Rumah Sakit dan nanti sore saya tengok Yanto dan menyampaikan kalau Mak belum bisa pulang malam ini”

Alhamdulillah bu Arifah bisa banyak bantu Mak Salamah. Sore itu setelah pulang kerja Bu Arifah menemui Yanto untuk mengcopy Kartu Keluarga dan KTP Mak Salamah. Ada sedikit kue-kue dan buah-buahnya yang dibawa Bu Arifah buat Yanto.

Sementara itu, Mak Salamah masih kelihatan bingung dan sedih. Di ruang tunggu ICU RSUD itu Mak Salamah bertemu dengan banyak orang yang anggota keluarganya dirawat juga. Mereka bercerita tentang keluarganya dan saling menguatkan apa yang terjadi dengan anggota keluarganya yang sakit. Banyak yang bersimpati pada Mak Salamah.

Di ruang tunggu ICU Mak Salamah tidak tidur. Mak Salamah gunakan waktunya untuk shalat tahajut, banyak-banyak berzikir dan mendoakan suaminya. Jelang tengah malam, Lelaki itu kritis, Mak Salamah dipanggil Perawat jaga. Lelaki itu sekarat dan akhirnya tidak tertolong, Mak Salamah menbantu mentalkin, menuntun bacaan kalimat Tauhid.

“Innalillahi wa inna ilahi rojiun” Mak Salamah pasrah sambil terus menerus berdo’a.

__&&&__

 

Yanto dirumah belum mengetahui kalau semalam Lelaki yang ditungguin Mak Salamah meninggal dunia. Pagi itu Yanto beraktifitas seperti biasa, menyapu halaman, memberi makan ayam dan itik. Tidak ada nasi sarapan yang seperti biasa disajikan Mak Salamah, alhamdulillah masih ada sisa kue pemberian bu Arifah kemarin sore. Sarapan nanti di sekolah dari uang penjualan telur itik. Telur itik Yanto sekarang sudah mulai berkurang, sudah mulai tidak produktif. Yanto sengaja menahan agak lama itiknya di kandang dengan memberi makan didalam kandang, sambil menunggu kalau-kalau ada yang bertelurnya agak siangan. Kalau itik nggak ada yang  bertelur, bisa bisa nggak makan hari ini, begitu fikir Yanto.

Di sekolah, Yanto banyak diam. Rupanya teman-teman Yanto sudah mendengar kabar kalau bapaknya Yanto ada di RSUD. Meski berbeda kelas, Purwanto, Madi dan Marno menemui Yanto saat istirahat.

“Yanto, bapakmu sudah ketemu tapi di Rumah Sakit ya?” tanya Purwanto.

“Sstttt, ketemu gimana? Emang hilang?!” kata Madi.

“Ya, selama ini kan katanya bapaknya Yanto merantau kerja keluar kota” kata Purwanto.

“Sudah-sudah, kasian Yanto lagi banyak fikiran, nggak usah dibahas” saran Yatno setelah melihat Yanto hanya diam.

“Nanti kita ke rumah Yanto ya” usul Marno.

Sementara waktu yang bersamaan sampai Bu Arifah berangkat kerja, Bu Arifah juga belum mengetahui kalau semalam lelaki yang ditungguin Mak Salamah meninggal dunia. Bu Arifah baru tahu setelah pagi ini sampai di RSUD. Sesaat lagi Jenazah segera dibawa pulang ke rumah Mak Salamah. Bu Arifah ijin atasannya di Rumah Sakit untuk ikut mengantar Jenazah sekalian mengurus segala adminitrasi buat klaim asuransi.

Siang sebelum Yanto pulang sekolah Jenazah sudah sampai rumah. Sesampai di rumah dari pulang sekolah Yanto terkejut dan merasa bapaknya sudah meninggal. Segera Yanto menemui Mak Salamah.

“Itu bapak sudah meninggal Mak?

“Kenapa bapak meninggal duluan Mak? Yanto masih kangen bapak Mak” Yanto menangis sambil menemui Mak Salamah.

“Berserah diri pada Allah dengan ketentuann-Nya atau kita mau  Allah melayani dengan ketentuan kita? Tentu saja ketentuan-Nya akan lebih baik. Apa yang kita sukai belum tentu baik buat kita, demikian juga sebaliknya” Dengan bersedih dan memeluk Yanto Mak Salamah masih bisa menasehati Yanto.

Sampai Jenazah dikuburkan, tetangga semua meyakini kalau Jenazah itu Jenazah pak Sukaryo suami Mak Salamah. Bu Arifah menepati janji membantu mengurus klaim asuransi untuk biaya Rumah Sakit.

Hari-hari berikutnya Mak Salamah dan Yanto menjalani dengan keyakian pak Sukaryo sudah meninggal. Mereka berdua tiap hari terutama sehabis shalat fardu selalu mendo’akan “almarhum”. Mak Salamah juga makin rajin bekerja untuk tabungan pendidikan Yanto, sesuai cita-cita pak Sukaryo “almarhun” bapaknya Yanto untuk Yanto supaya bisa berpendidikan tinggi. Yanto yang sudah tidak galau lagi dengan bapaknya juga semakin rajin belajar dan membantu Mak Salamah.

 

5

MENGUAK TABIR REJEKI

 

“Hidup kita sudah ada yang mengatur, termasuk rezeki. Kita cuman diwajibkan berusaha dengan sungguh-sungguh, menjalani hidup dengan cara yang terbaik dan pasrah total hanya kepada Allah, masalah hasil itu kuasa Allah”

 

Ketidakadanya bapak, membuat Yanto yang bercita cita melanjutkan pendidikan tinggi berusaha membantu Mak Salamah menambah penghasilan. Yanto baru saja naik ke kelas 3 SMP, ingin bisa menabung untuk biaya masuk SMA dan Perguruan Tinggi nanti. Saat libur kenaikan kelas begini, Yanto pengin memulai buka usaha.

“Itik kita sudah tidak produktif Mak, yang bertelur tinggal 2 – 3 tiap harinya”

“Iya saatnya ganti yang muda, Mak juga baru cari pedagang ayam dan unggas potong”.

“Bagaimana cara menambah penghasilan kita Mak? Yanto pengin menabung untuk biaya sekolah sampai kuliah nanti. Kalau Yanto buka warung kecil kebutuhan sehari hari di teras rumah bagaimana Mak?”

“Alhamdulillah anak Mak punya cita-cita tinggi, seperti itu juga cita-cita almarhum bapakmu, mau jualan apa?”

“Ya sembako, kebutuhan mandi dan cuci seperti yang Mak dititipi belanjaan sama Dhe Darmi dan Dhe Sumi selama ini, juga minyak tanah Mak”

“Ya kita menabung buat modal dulu” Mak Salamah sangat menyetujui usul Yanto.

“Dagangannya seadanya modal dulu Mak, jual Sembako yang sering dibutuhkan dulu”

“Apa Yanto jual minyak tanah saja dulu?” Yanto meralat memberi usul.

“Ya, jual minyak tanah dulu lebih baik. Warga sini kan sering kesulitan kalau mau beli minyak tanah. Mak cari ember besar, takaran minyak 1 Lt dan ½ Lt dan 2 jerigen besar buat kulakan”

“Baik Mak, Yanto nanti yang jahitkan kantong dari karung buat tempat jerigen diboncengan sepeda Yanto”

“Oh, iya Mak, Mak juga harus beli lampu senter buat pengganti obor, daripada Mak harus menyiapkan obor dari batang daun pepaya tiap hari”

Belum selesai pembicaraan Yanto dan Mak Salamah, sore itu Bu Arifah datang. Bu Arifah memberi uang sisa dari klaim asuransi ditambah uang kematian dari pemda setelah dikurangi uang biaya Rumah Sakit. Mak Salamah ragu menerima uang dari Bu Arifah. Entah kenapa Mak Salamah merasa kalau itu bukan haknya.

“Sudahlah Mak, ini hak Mak Salamah, buat biaya selamatan kirim do’a almarhum sama bisa buat keperluan sekolah Yanto” Bu Arifah meyakinkan kalau uang itu benar-benar hak Mak Salamah.

Setelah Bu Arifah berpamitan pulang, Mak Salamah dan Yanto melanjutkan kembali diskusi tentang rencana Yanto berjualan. Sekarang ada uang yang bisa dipakai modal berjualan.

“Nggak apa uang ini dipakai Mak?” Yanto juga ikut keraguan Mak Salamah tentang hak uang itu.

“Mak juga merasa begitu, tapi bu Arifah meyakinkan kalau ini hak kita, jadi bisa dipakai Yanto buat modal jualan dulu”

“Kata Bu Arifah buat selamatan kirim do’a bapak Mak!” Yanto mengingatkan perkataan Bu Arifah tadi.

“Iya, selamatan kirim do’a kan ada waktunya sendiri, dan tidak dipakai buat kulakan semua. Yanto harus bisa mengembangkan usaha sendiri sedikit demi sedikit”

“Baik Mak!”

__&&&__

 

Alhamdulillah usaha Yanto bisa berjalan, meskipun baru berjualan minyak tanah. Yanto bertekat untuk mengembangkan dagangannya.

“Itik sudah Mak borongkan sama pedagang ayam dan itik potong, mau piara itik lagi nggak?”

“Nggak usah Mak, jualan Yanto Alhamdulillah kan sudah berjalan dan tinggal mengembangkan, ntar piara itik kalau sering terlambat pulang Yanto repot waktunya buat menggiring pulang”

Seiring berjalannya waktu dagangan Yanto bisa berkembang dari hanya berjualan minyak tanah, sekarang bisa bertambah jualan sembako dan keperluan mandi cuci

Suatu sore sehabis shalat ashar.....

 “Yanto, besuk Mak kulakan apa buat dagangan Yanto?”

“Nggak usah Mak, Yanto butuh Beras tapi ntar Mak keberatan bawanya, biar Yanto sendiri besuk sepulang sekolah langsung ke pasar”

“Ya sudah, Mak berangkat ke kebun dulu ya”

“Ya Mak!”

Yanto jaga dagangan sambil membaca buku pelajaran, tiba-tiba ada seorang Ibu dari desa lain kecamatan datang ke rumah Mak Salamah. Yanto segera menyusul Mak Salamah yang barusan berangkat di kebun. Ibu tersebut mengaku kehilangan suaminya. Dan niatan ke rumah Mak Salamah ingin mengetahui informasi kejelasan lelaki yang meninggal dan diakui sebagai Pak Sukaryo suami Mak Salamah itu betul suaminya atau tidak.

Mak Salamah balik ke rumah dan segera menemui tamu ibu-ibu itu. Ibu tersebut dan Mak Salamah sama-sama menunjukkan foto suaminya. Warna kulit dan perawakan sama. Kalau dilihat wajahnya antara suami Ibu dan pak Sukaryo cuman ada sedikit kemiripan dibentuk wajah.

“Mukanya lebam dan sisi disebelah kanan ada luka karena tertabrak Bus, jadi kemarin sampai mau dikebumikan wajahnya kurang jelas” kata Mak Salamah.

“Jangan-jangan itu suami saya ya Mak?!, suami Mak masih diperantauan” kata Ibu itu yang membuat Mak Salamah tambah bingung.

“Kita sama-sama berdo’a yang terbaik buat suami kita” kata Mak Salamah.

“Iya Mak, saya juga berharap suami saya masih hidup, entah dimana sekarang”

“Kalau golongan darah kemarin sama dengan bapak ya Mak?” Yanto menimpali.

“Golongan darah kebetulan sama dengan bapakmu”

“Kalau data lain-lain sampai harus test DNA dan otopsi mahal biayanya Mak” Yanto mengingatkan.

“Nggak perlu sampai otopsi untuk test DNA, kita sama-sama bukan orang berada. Betul kata Mak kamu, kita berdoa yang terbaik saja” lanjut Ibu itu.

Akhirnya tidak ada penyelesaian dari pertemuan Ibu itu dan Mak Salamah sampai Ibu itu bermaksud minta ijin pamit pulang.

“Sudah sore Mak, pulang dulu, takut kemalaman sampai rumah” pamit Ibu itu.

Sebelum ibu itu pulang, Yanto berinisiatif meminta identitas Ibu itu dan suaminya. Yanto berfikir panjang kalau-kalau besuk ada kabar atau terjadi sesuatu tentang Pak Sukaryo atau suami ibu itu.

“Sebentar Bu!, minta identitas Ibu dan Bapak, kalau ada informasi nanti Ibu saya kabari” kata Yanto.

“Oh iya, termakasih Nak!”

Ibu itu menulis identitas diri dan suaminya pada halaman paling belakang buku yang diberikan Yanto, setelah selesai menulis kemudian dikembalikan pada Yanto. Mak Salamah menyiapkan sedikit sembako dagangan Yanto buat bawaan ibu itu. Ibu itu pulang dengan beban fikiran yang sama dengan Mak Salamah, galau dan bingung. Sampai Ibu itu menghilang dari pandangan Mak Salamah, Mak Salamah terus memandang ibu itu dengan iba.

“Hari ini Mak nggak jadi ke kebun, tidak ada hasil panen buat dijual besuk, berarti besuk Mak nggak ke pasar?” tanya Yanto mengalihkan fikiran Mak Salamah dari Ibu tadi.

“Nggak ke pasar juga nggak apa, rejeki tidak akan kemana, oh ya, tadi saya belum ijin membawakan sedikit dagangan kamu buat oleh-oleh Ibu tadi”

“Iya Mak, Yanto setuju Mak bawakan oleh-oleh buat Ibu tadi, alhamdulillah kita ada rejeki”.

Sebetulnya Yanto pun masih kepikiran ucapan Ibu tadi yang bilang jangan-jangan itu suami saya, “Semoga besuk-besuk ada kejelasan ya Mak!” kata Yanto

“Iya, semoga besuk-besuk ada kejelasan, Mak juga bingung”

“Besuk pagi Mak mau ngapain?”

“Pagi mau ke kebun sebentar”

__&&&__

 

Sehabis Maghrib, seperti biasa Yanto belajar dan mengajar tilawah atau hafalan Al Qur’an di Musholla, sementara Mak Salamah pulang sendiri. Sesaat kemudian, seperti biasa juga Dhe Darmi dan Dhe Sumi datang ke rumah Mak Salamah untuk menitip belanjaan besuk.

“Besuk nggak ke pasar, tidak ada hasil panen, tadi sore nggak jadi ke kebun” jelas Mak Salamah.

“Nggak jadi ke kebun Mak Salamah pergi kemana?” tanya Dhe Darmi.

“Ada tamu, Ibu-ibu kehilangan suaminya, tanya kalau-kalau yang meninggal kemarin bukan pak Sukaryo, tapi suami Ibu tadi”

“Lha terus gimana Mak? Yang meninggal kemarin pak Sukaryo apa suami ibu tadi?” tanya Dhe Sumi.

“Belum ada kejelasan juga, kita sama-sama bingung”

Dhe Darmi dan Dhe Sumi mencoba menenangkan Mak Salamah. Mereka bertiga jagongan sampai jelang Isya’

“Pasrah saja Mak, mau gimana lagi, mengalir saja menghadapi ini, semoga besuk-besuk ada kejelasan” saran Dhe Darmi yang meringankan beban fikiran Mak Salamah.

“Ya sudah Mak, yang sabar, semoga yang terbaik saja buat Pak Sukaryo dan suami ibu tadi, pamit Mak sudah adzan Isya’ tu” lanjut Dhe Darmi.

“Iya Mak, semoga yang terbaik buat semua, juga pamit Mak” Dhe Sumi ikut-ikut berpamitan.

“Iya, matur suwun yo nasehate, sepurone ora mangkat pasar sesuk” jawab Mak Salamah, terimakasih nasehatnya, maaf tidak ke pasar besuk.

Setelah Dhe Darmi dan Dhe Sumi pulang, segera Mak Salamah berangkat ke Musholla untuk shalat Isya’ berjamaah menyusul Yanto.

__&&&__

 

Berita kedatangan ibu-ibu yang kehilangan suaminya ke rumah Mak Salamah menyebar ke semua warga desa. Warga desa jadi ikut menyangsikan kalau jenazah yang hampir 1 tahun lalu dimakamkan Mak Salamah bukan jenasah pak Sukaryo. Bu Arifah yang sudah mendengar duluan, karena ibu-ibu itu sebelumnya mencari info di RSUD juga jadi ikut ragu dan bingung. Bingung karena merasa punya beban yang meyakinkan pertama kali bahwa jenazah dulu itu jenazah pak Sukaryo adalah Bu Arifah.

Disempatkan Bu Arifah untuk menemui Mak Salamah ke rumahnya.

“Ibu-ibu kemarin itu sebelumnya ke RSUD Mak, lalu saya kasih alamat Mak” kata Bu Arifah.

“Iya, ibu itu juga berceritera”

“Terus gimana Mak? Saya minta maaf kalau salah, keyakinan saya kalau korban tabrak lari bus dulu itu adalah pak Sukaryo saya paksakan ke Mak Salamah”

“Nggak ada yang perlu disalahkan dan tidak perlu merasa bersalah meskipun kita sama-sama bingung sekarang, mengalir saja semoga besuk-besuk ada kejelasan”

“Iya Mak, semoga yang terbaik buat Pak Sukaryo. Matur suwun Mak Salamah nggak menyalahkan saya”

“Iya, nggak apa, kan belum pasti juga kalau yang dimakamkan kemarin bukan Kang Karyo, semoga yang terbaik buat Kang Karyo”

“Ya sudah Mak, saya pamit pulang, sepindah malih matur suwun Mak Salamah nggak menyalahkan saya” kata Bu Arifah berpamitan sambil menegaskan kembali permintaan maafnya. “Assalamu’alaikum” lanjutnya.

“Sudahlah, nggak apa. Waalaikum salam” jawab Mak Salamah.

__&&&__

 

Suatu hari Mak Salamah menerima Wesel Pos dengan jumlah yang lumayan, pengirimnya atas nama Sukaryo. Mak Salamah jadi bingung dan ragu, buakankah Sukaryo suaminya sudah meninggal? Apa Mas Karyo kirim wesel sebelum kecelakaan? Kenapa wesel baru nyampai sekarang? Begitu fikiran Mak Salamah sambil menenangkan diri menunggu Yanto pulang dari sekolah.

“Yanto ini ada wesel dari bapakmu”

“Apa benar Mak? Bapak kan sudah meninggal Mak!”

“Nggak tahu, Mak juga bingung” jawab Mak Salamah yang dalam hatinya semakin ragu kalau yang dimakamkan kemarin benar suaminya atau bukan.

“Tapi ini pengirimnya tertulis jelas Sukaryo Mak! Penerima juga jelas atas nama dan alamat Mak!” Yanto meyakinkan Mak Salamah kalau itu benar wesel buat Mak Salamah dari bapaknya.

“Yanto jadi ingat ibu-ibu yang dulu kesini mencari suaminya Mak! Jangan-jangan benar.... “

“Bapakmu masih diperantauan gitu?” sambung Mak Salamah.

 “Kalau yang meninggal kemarin benar bapak, berarti sebelum kecelakaan bapak kirim wesel Mak, ini terlambat mungkin kirimnya nitip lewat temannya bapak. Kalau bapak masih hidup ya semoga saja ya Mak, bapak masih diperantauan!” Yanto mencoba menjelaskan ke Mak Salamah meski belum tahu pasti.

. Yanto tidak menginformasikan adanya wesel itu pada ibu-ibu yang dulu ke rumah karena belum ada kepastian juga pak Sukaryo masih hidup apa sudah meninggal. Mak Salamah juga punya pemikiran begitu.

Sebelum mendapat kiriman wesel dari bapaknya, semua biaya sekolah Yanto bisa dicukupi dari hasil jualannya sendiri, bahkan sesuai keinginannya awal jualan, Yanto bisa menabung sedikit-sedikit buat biaya masuk SMA dan kuliahnya besuk.

__&&&__

 

Selang beberapa hari setelah terima wesel, rumah Mak Salamah kecurian. Yang dicuri dagangan Yanto, lumayan banyak sembako yang hilang. Selama ini rumah Mak Salamah ditutup seadanya dari belakang.

“Kita kurang iktiar dengan mengunci rumah Yanto, mungkin ada orang yang iseng, pintu belakang rumah kita nggak dikunci, jadi orang itu tergoda untuk mencuri. Kalau sengaja mau mencuri sepertinya tidak, kamar Mak nggak diacak acak untuk dicari uangnya.” Mak Salamah menyarankan Yanto untuk memberi kunci pintu belakang rumah.

“Baik Mak, Yanto akan lebih berhati-hati dan memberi kunci pintu belakang, berarti pencuri tidak tahu kalau Mak habis dapat wesel dari ‘almarhum’ bapak”

“Kiriman kemarin baru Mak ambil sebagian, masih Mak tabungkan di Kantor Pos. Terus bagaimana jualan kamu selanjutnya?”

“Yanto sudah ada tabungan Mak, nanti kulakan lagi pakai Tabungan Yanto”

“Tidak pakai uang kiriman dari ‘almarhum’ bapak ?” Mak Salamah mencoba menawarkan bantuan ke Yanto.

“Tidak usah Mak”

Mak Salamah banyak menasehati Yanto mengenai usaha jualannya dan pengelolaan hartanya. Ikhtiar / usaha harus dijalankan dulu dengan sunggu-sungguh dengan tidak lupa berdo’a dan bersedekah.

“Bersedekahlah agar rezeki kita lebih berkah. Keberkahan harta bukan karena nilai jumlahnya tapi nilai kemanfaatannya. Harta cukup digenggaman, jangan sampai dimasukkan ke hati”

“Baik Mak, Yanto berjanji untuk konsisten bersedekah. Sepeninggalan bapak, alhamdullillah rezeki kita tetap ada”

 “Hidup kita sudah ada yang mengatur, termasuk rezeki. Jadi ada atau tidak adanya bapak insha Allah tetap ada rezeki. Kita cuman diwajibkan berusaha dengan sungguh-sungguh, menjalani hidup dengan cara yang terbaik dan pasrah total hanya kepada Allah, masalah hasil itu kuasa Allah”.

“Rezeki itu bisa berupa apa saja”

“Kesehatan itu rejeki”

“Teman yang baik itu rejeki”

“Lingkungan yang baik itu rejeki”

Demikian Mak Salamah selalu memberi nasehat pada Yanto, apalagi di saat ada suatu kejadian yang dialami Yanto atau Mak Salamah. Nasehat, meski kadang sederhana tapi mengena karena kejadian nyata saat setelah dialami Yanto dan Mak Salamah sendiri 

 

6

BENARKAH ITU BAPAK?

 

 “Sesuatu yang datang menimpa pada kehidupan ini kadang merupakan suatu cobaan yang Allah berikan pada hamba-Nya. Ujian seharusnya dihadapi dengan baik, bukan dihadapi dengan cara yang tidak diperbolehkan-Nya.”

 

 

Di akhir belajarnya di SMP, Yanto kembali berprestasi, nilai ujian ranking 3 di sekolahnya. Dengan prestasinya itu Yanto bisa masuk SMAN 1 di kota Kabupaten. Sahabat Yanto sekampung hanya Purwanto yang bisa masuk SMAN 1 satu sekolah sama Yanto. Sedang Madi diterma di SMAN 2. Marno dan Yatno tidak bisa melanjutkan SMA karena masalah biaya. Sebenarnya Yanto sudah mendorong Marno dan Yatno untuk bisa melanjutkan SMA. Marno dan Yatno sendiri sudah ada tekat untuk itu, tapi kedua orang tua mereka tidak ada dukungan. Beda dengan Yanto, meski sama-sama dari keluarga kurang berada, orang tua Yanto dan Yanto sendiri punya cita-cita untuk bisa berpendidikan tinggi.

Yang menjadi kebanggan Mak Salamah pada Yanto, selain punya prestasi di sekolah, juga karena Yanto punya tekat dan cita-cita berpendidikan tinggi sesuai keinginan “almarhum” pak Sukaryo dan Mak Salamah sendiri. Mak Salamah tinggal mendorong dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Yanto untuk bersekolah.

“Besuk kalau berangkat ke sekolah di SMA naik apa Yanto?” tanya Mak Salamah suatu sore saat Yanto buka warung dagangannya.

“Tetap naik sepeda sampai kota kecamatan Mak, nanti sepeda Yanto titipkan di penitipan sepeda dekat pasar, lalu naik angkot atau bus”

“Terus jualanmu gimana? Pulang sekolah dari SMA kan jadi sorean?”

“Ya tetap bisa jualan Mak, nanti pelanggan-pelanggan Yanto dibilangi”

“Yanto nggak pengin naik motor? Kan ada itu anak-anak SMA ke sekolah pada naik motor sendiri”

“Nggak dulu Mak, KTP saja belum punya, apalagi SIM. Yanto nggak mau ikut-ikutan apalagi cuman untuk gaya-gayaan”

“Bukan gaya-gayaan, kalau memang perlu!” sanggah Mak Salamah

“Berarti ikut-ikutan belum punya SIM asal naik motor saja”

“Ya besuk kalau sudah ada KTP langsung urus SIM sekalian ya!”saran Mak Salamah.

“Ya, kalau sudah dirasa perlu ya Mak”

Yanto yang tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, cakap, mandiri juga tampan menjadi salah satu idola di sekolahnya. Selain Yanto menonjol dalam prestasi, sikap dan akhlak Yanto sehari-hari bisa menjadi contoh teman-temannya, meski begitu kesederhanan seperti yang dicontohkan Mak Salamah sudah terpatri dalam tingkah laku Yanto sehari hari.

Ada satu teman sekolah cewek yang menaruh hati sama Yanto, Novi namanya. Novi sering melakukan pendekatan pada Yanto, Yanto tidak menganggapi karena tidak mau pacaran. Yanto pikir pacaran bisa mengganggu belajar dan pekerjaannya, juga tidak suka pada sikap Novi.

__&&&__

 

Novi anak pedagang besar di pasar kota kabupaten. Sayang kedua orang tua Novi kurang memperhatikan pendidikan, akhlak, budi pekerti, sopan santun dan perilaku anak-anaknya sehari-hari. Kedua orang tua Novi terlalu sibuk pada dagangannya sehingga abai dengan perhatian dan perkembangan anak-anaknya. Yang bisa dilakukan hanya memanjakan anak-anaknya dengan materi.

Novi punya adik satu, cowok yang masih SMP namanya Aldi. Sama dengan Novi, karena kurang perhatian dari orang tua, Aldi yang baru menginjak remaja sudah kelihatan badungnya.

Rumah orang tua Novi dekat dengan pasar kota kabupaten. Sebenarnya rumah tersebut cukup besar dan megah, tapi karena tidak terawat dan terlalu banyak dagangan yang berceceran didalam rumah jadi terkesan kumuh. Karena situasi itu mungkin dan kedua orang tua yang terlalu sibuk dan kurang memperhatikan anak-anaknya yang membuat Novi dan Aldi tidak betah tinggal di rumah.

__&&&__

 

Musim hujan dipenghujung bulan membuat sore hari ini begitu syahdu dengan suasana yang dingin dan genangan air disekeliling kampung,  juga jalanan yang becek menuju rumah Yanto. Sambil menunggu dagangannya lelaki yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu mengisi waktu luangnya dengan belajar, membuka kembali buku pelajarannya yang telah Yanto pelajari di sekolah bersama teman-teman didalam kelas. Entah keberuntungan atau kemalangan yang saat itu datang menghampirinya, tanpa Yanto sadari gadis manis yang sedikit urakan dan kurang terlatih untuk berkata-kata manis, tiba-tiba sudah ada disamping Yanto.

”Hai... bisa sampai disini?,  naik apa?, kok alas kakinya dilepas?” Yanto heran melihat sosok yang  selama ini menjadi teman dekatnya disekolah sudah berada di rumah tanpa mengabari dirinya.

“Naik motor” jawab Novi singkat.

“Motornya ditinggal dimana, kenapa berjalan kaki sampai sini?” Yanto heran dengan penampakan Novi yang berjalan kaki sambil mententeng alas kakinya.

“Motornya aku titipkan di rumah ujung jalan sana sebelah gang yang turun berbatu dan becek itu. Aku ditunjukan rumahmu sama yang punya rumah dan jalan menuju kesini” lanjut Novi menjelaskan.

“Kalau naik motor harusnya tidak usah melewati jalan yang becek itu, ada jalan lain yang memutar dan bisa sampai kesini dengan motormu” Yanto memberitahu Novi jalan yang benar menuju rumah jika bawa motor.

Dengan anggukan tanda mengerti apa yang di sampaikan, Novi masih sambil bergumum mengatakan tadi yang punya rumah diujung jalan tidak mengasih tahu alternatif lain jalan yang bisa dilewati motor walau dengan sedikit memutar dan membuat jarak agak jauh sampai kerumah Yanto.

“Silakan duduk dulu kamu pasti capek berjalan ria di jalan becek” gurau Yanto sambil memandang kearah Novi yang sedikit masam mukanya.

“Mau minum apa?” lanjut Yanto sambil mencari minuman dan snack dari dagangannya yang pantas buat suguhan Novi.

“Apa saja boleh, yang tidak merepotkan saja” balas Novi sambil mengibas-ngibas bangku lusuh, tua dan hampir reot yang sebenarnya masih terjaga kebersihannya itu.

“Ada tamu ya?” Pada saat itu juga Mak Salamah muncul diantara mereka sambil menebar senyum tulus seorang Ibu.

“Ini siapa nak?” lanjut Mak Salamah.

Sebelum menjawab pertanyaan Ibunya Yanto sudah diberondong pertanyaan balik dari Novi.

 “Yanto, ini siapa?” Novi agak terkejut dengan kehadiran Mak Salamah

“Mak ini Novi teman sekelasku” aku dan Novi bersahabat Mak kata Yanto mencairkan suasana saat itu.

Novi maju beberapa langkah mendekat Mak Salamah sambal mengulurkan tangannya.

“Mak, aku Novi teman sekolah Yanto”

“Ohh, iya Nak, begini ini Maknya Yanto”

“Iya Mak senang bisa bertemu” kata Novi sambil menjabat tangan Mak Salamah.

Novi yang sebenarnya menaruh hati kepada Yanto teman sekelasnya, berniat mengetahui keadaan Yanto, terutama kondisi tempat tinggal, dan keluarganya. Setelah mengetahui keadaan Yanto, Novi sedikit merasakan kecanggungan dan merasa tidak sesuai dengan perkiraannya walau sebenarnya Yanto sudah menceritakan kondisi keluarganya kepada Novi dan teman-teman di sekolah karena Yanto anak yang baik, pintar dan jujur. Perlahan kekaguman Novi kepada Yanto memudar dia merasa bahwa Yanto bukan lelaki yang tepat untuknya.

Pertemuan disore itu membuat Novi mulai menjauhi Yanto. Novi bersikap cuek dan tidak lagi mendekati Yanto, di sekolah seakan-akan tidak pernah mengenal Yanto sebelumnya. Yanto bukan tidak merasakan sikap Novi kepadanya, Yanto juga berusaha cuek dengan keadaan sekarang atas berubahnya sikap Novi kepadanya. Dan Yanto lebih bersyukur bila Novi menjauhinya agar Yanto bisa lebih konsentrasi belajar.

Walau sesungguhnya ada rasa kehilangan, lebih kekehilangan teman yang sedikit urakan ceplas ceplos dan sedikit tidak sopan, karena dirumahnya kurang diajari tata krama dan etika oleh orang tuanya yang sibuk dengan bisnis berdagang ditokonya.

Yanto hanya ingin menjadi teman yang baik buat Novi agar berubah ke yang lebih baik karena anak perempuan harus memiliki kelemah lembutan, tata krama yang baik agar bisa menjadi ibu dan istri yang baik pula kelak.

Doa Yanto buat Novi semoga suatu saat nanti bisa berteman lagi dan Novi bisa membuang anggapan tentang harta dan kekayaanlah merupakan sumber  kebahagiaan. Itu hanya penilaian manusia yang suatu saat akan berubah. Hidup sederhana, berlimpah rahmat dan berkah dari Allah jauh lebih mulia dan menjadi sumber kebahagiaan buat orang-orang yang berada ditakdir itu.

__&&&__

 

Menjelang maghrib, Yanto berkemas menutup dagangannya. Tiba-tiba......

“Assalamu‘alaikum, Yanto....”  

Yanto terpaku sejenak menatap Lelaki paruh baya yang sangat mirip pak Sukaryo bapaknya.

“Waalaikum salam” Agak ketakutan Yanto menjawab salam sambil langsung lari ke belakang mencari Emaknya.

Lelaki paruh baya itu jadi heran, ada apa dengan Yanto?

“Mak...  Mak..   Mak...” Yanto lari sambil panggil-panggil emaknya.

“Ada apa Yanto? jelang Maghrib teriak teriak !”

“Ada orang mirip bapak didepan Mak!”

Mak Salamah bergegas kedepan. Terkejut juga melihat orang mirip “almarhum” suaminya. Ragu, apa betul itu suaminya masih hidup? Mak Salamah juga jadi ingat Ibu-ibu yang kehilangan suaminya yang dulu datang ke rumah.

Sinten nggih?” Mak Salamah mencoba menanyakan identitas tamunya.

Sinten piye Mak ???! Iki Sukaryo bojomu” jawab lelaki itu tambah heran dan bingung.

Sejenak saling heran dan bingung. Sebetulnya sudah ada keyakinan dalam diri Mak Salamah bahwa itu benar Kang Karyo suaminya setelah memperhatikan betul tamunya, Cuma masih sedikit keraguannya. Untuk semakin meyakinkan diri sendiri, akhirnya Mak Salamah mengajak tamunya saling bicara mengenai hal-hal yang hanya Mak Salamah dan Pak Sukaryo berdua yang tahu.

“Kang Karyo???”.......  Kapan awake dw ketemu pertama kali?” Tanya Mak Salamah.

Lho.. awake dw kan tunggal pondok Mak, awake dw mondok bareng” kata lelaki itu.

Terus, iso kenal aku? Awak dw kan beda tingkat

Iyo, aku wis SMA kono jih SMP, sopo sak pondokan sing ra kenal awakmu Mak, awakmu kan Santriwati berprestasi”

Terus, aku iso kenal awakmu?”

Aku kan sering nitip salam kanggo awakmu lewat Sonah tonggoku sing dadi konco raketmu

Kapan Kang Karyo teko ngomahku perta kali?” lanjut Mak Salamah.

Wektu krungu awakmu ora neruske SMA, yen aku wis Lulus SMA”

Atas kecocokan pembicaraan itulah Mak Salamah makin yakin kalau tamunya itu adalah Sukaryo suaminya sendiri.

Yanto terpana dengan pemandangan yang ada dihadapannya, seperti tidak asing dengan orang yang berada di ruangan yang sama dengannya. " Yanto kemari nak, ini Bapak yang kita kira sudah meninggal, ternyata masih sehat, tidak kurang suatu apapun" Mak Salamah meminta Yanto untuk mendekati Bapaknya.

Dengan setengah berlari menghambur memeluk Bapak dan Emaknya, saling berangkulan seakan melepas semua kekhawatiran dan kesedihan yang menimpa mereka yang sudah mengira bahwa lelaki yang menjadi korban tabrak lari adalah Pak Sukaryo. Mak Salamah menceritakan apa yang sedang dialaminya baru-baru ini.  Ada seseorang yang tertabrak bus menjadi korban tabrak lari yang sangat mirip dengan Pak Sukaryo yang tak lain dan tak bukan adalah Bapak dari Yanto. Jasad lelaki yang menyerupai Pak Sukaryo di urus dan di makamkan oleh Mak Salamah. Pak Sukaryo tertegun mendengar penuturan Mak Salamah dan menjadi tahu apa penyebab Mak Salamah ragu saat menyambut kedatangannya.

Dengan Bijak mengatakan " Yang datang dan pergi di kehidupan merupakan suatu cobaan pada hambaNya yang Allah berikan, agar terus berlapang dada menerima" Pak Sukaryo mendekap erat isteri yang telah berbuat baik kepada takdir yang telah membawanya untuk mengurus dan memakamkan jasad yang bukan suaminya. Semua ujian harus dihadapi dengan prasangka baik dan dengan cara yang di perbolehkan sebagai seseorang yang beriman. " sebaiknya kita salat magrib berjamaah" Ajak pak Sukaryo sambil mengandeng Mak Salamah. " Ceritanya kita lanjut nanti setelah salat" Pak Sukaryo menutup perbincangan.

Selesai shalat Maghrib dan berdo’a, Yanto bersalaman dan mencium tangan bapaknya. Seperti kebiasaannya dulu, pak Sukaryo membalas dengan mencium kening dan kedua pipi Yanto. Dengan bacaan shalat tadi dan ciuman dari pak Sukaryo, sekarang Yanto makin yakin kalau lelaki didekatnya adalah pak Sukaryo bapaknya.

Setelah itu Pak Sukaryo, Mak Salamah, dan Yanto melanjutkan perbincangan mengenai kejadian-kejadian selama pak Sukaryo pergi merantau. Pak Sukaryo bercerita kalau awal bekerja masuk pada agen penyalur tenaga kerja yang salah / korban human trafficking, sampai-sampai tidak bisa kasih kabar pada anak istrinya. Kepahitan usaha keras pak Sukaryo untuk lepas dari agen tersebut tidak berhasil sampai 4 tahun kontrak kerja berakhir. 2 tahun  Pak Sukaryo sudah bebas bekerja tanpa ikatan agen, jadi total 6 tahun Pak Sukaryo merantau dari Yanto kelas 4 SD sampai sekarang Yanto kelas 1 SMA. Mak Salamah banyak bercerita mengenai korban tabrak lari bus hampir 2 tahun lalu yang akhirnya diakui sebagai Pak Sukaryo suaminya. Yanto bercerita perasaan rindu dendamya pada bapaknya. Sempat punya perasaan benci sama bapaknya. Mereka semua sampai menangis terharu, sedih bercampur syukur, senang akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.

Ditengah pembicaraan Pak Sukaryo sekeluarga, Dhe Darmi dan Dhe Sumi datang, tapi mereka mengurungkan salamnya ketika melihat ada pak Sukaryo didalam, Dhe Darmi dan Dhe Sumi faham kalau Pak Sukaryo dan keluarga belum bisa diganggu, mereka juga heran kok ada Pak Sukaryo. Diluar rumah Dhe Darmi dan Dhe Sumi bicara sendiri.

“Itu pak Sukaryo masih hidup” Kata Dhe Sumi.

“Iya, berarti yang dimakamkan 2 tahun lalu itu suami ibu-ibu yang diceriterakan Mak Salamah hampir 1 tahun lalu” sahut Dhe Darmi.

“Ya sudah, kita pulang dulu saja, mereka belum bisa diganggu, lagian besuk pasti Mak Salamah nggak ke pasar” kata Dhe Sumi.

“Iya tentu nggak ke pasar, ayo kita pulang saja” kata Dhe Darmi.

Pembicaraan Pak Sukaryo sekeluarga terhenti saat adzan Isya’ tiba. Pak Sukaryo mengajak Mak Salamah dan Yanto jamaah ke Mushola, sekalian menunjukkan pada jamaah Mushola kalau dirinya masih hidup.

Benar, sesampai di Mushola, kedatangan Pak Sukaryo bikin heboh jamaah di Mushola. Sebelumnya ada yang bercerita kalau sore jelang Maghrib tadi melihat Pak Sukaryo berjalan pulang ke rumah. Selesai shalat Isya’, jamaah ingin bertanya lebih jauh pada Pak Sukaryo, tapi Pak Sukaryo ijin dulu, janji besuk habis Subuh saja dilanjutkan pembicaraannya. Jamaah menyadari, pak Sukaryo tentu capek. Pak Sukaryo sendiri masih ingin bicara pada Yanto dan Mak Salamah.

Sesampai di rumah dari pulang shalat isya’ di Musholla, Mak Salamah mengajak Pak Sukaryo dan Yanto makan malam.

“Ayo kita makan dulu, omong-omong santai karo maem” ajak mak Salamah untuk makan dulu sambil bicara santai.

__&&&__

 

Selesai shalat Subuh, pak Sukaryo melanjutkan pembicaraan dengan jamaah bapak-bapak di Musholla. Yanto dan mak Salamah pulang duluan. Pak Sukaryo menceritakan segala hal selama dia merantau ke jamaah bapak-bapak. Jamaah bapak-bapak jadi tahu kenapa Pak Sukaryo sampai nggak bisa memberi kabar pada keluarga.

Jelang pukul 6 pagi, Pak Sukaryo baru pulang dari Musholla dan di rumah sudah banyak kedatangan tamu. Sementara Yanto sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Tadi sengaja menunggu bapaknya pulang dari Musholla. Begitu Pak Sukaryo sampai rumah dan ikut bergabung dengan Mak Salamah menemui tamu-tamu, Yanto segera berpamitan untuk berangkat ke sekolah.

Mereka tetangga yang ingin memastikan bahwa benar pak Sukaryo masih hidup, dan ingin mengucapkan selamat pada Pak Sukaryo dan Mak Salamah. Tidak ketinggalan ada bu Arifah. Bu Arifah merasa paling bersalah karena pertama kali yang meyakini lelaki korban tabrak lari itu Pak Sukaryo. Dan Bu Arifah yang mendorong pada Mak Salamah untuk mempercayai kalau lelaki korban tabrak lari itu adalah Pak Sukaryo suami Mak Salamah. Bu Arifah sampai minta maaf pada Pak Sukaryo dan Mak Salamah beberapa kali.

__&&&__

 

Beberapa hari setelah kepulangan Pak Sukaryo, Mak Salamah mengingatkan Yanto untuk segera menemui ibu kehilangan suaminya yang pernah menemui Mak Salamah hampir setahun lalu. Yanto disuruh Mak Salamah mengabarkan kalau pak Sukaryo masih hidup. Jadi bisa dipastikan yang meninggal kemarin suami ibu itu.

“Yanto, tolong segera temui ibu kehilangan suaminya yang dulu pernah kemari!” pinta Mak Salamah.

“Iya Mak, nanti saya minta bantuan Purwanto atau Madi yang punya motor untuk menemani” jawab Yanto, paham maksud Mak Salamah untuk mengabarkan ke ibu itu bahwa pak Sukaryo bapaknya masih hidup.

“Bapak kamu masih hidup, yang meninggal kemarin suami ibu itu pastinya, alamat rumahnya masih kau simpan kan?”

“Iya Mak, alamat ada di buku pelajaran Yanto waktu masih kelas 3 SMP, masih Mak!”

“Kira-kira hari minggu besuk ya Mak” sambung Yanto setelah beberapa saat Mak Salamah tidak bertanya lagi.

“Ya, sesuaikan waktu luangmu” jawab Mak Salamah.

Sahabat Yanto yang orang tuanya punya sepeda motor yaitu Madi dan Purwanto. Purwanto meskipun beda kelas sekarang masih satu sekolah sama Yanto. Jadi Yanto paling sering ketemu dengan Purwanto dibanding teman sekampungnya yang lain. Yanto berencana mau minta tolong pada Purwanto dulu.

Esok harinya Yanto ketemu Purwanto sewaktu menunggu angkot ke sekolah. Belum sempat Yanto bicara pada Purwanto, angkot yang mau dinaiki sudah datang. Segera mereka berdua masuk, seperti biasa sudah banyak penumpang siswa SMA 1 juga didalam angkot. Setelah didalam angkot Yanto baru bisa bicara dengan Purwanto.

“Pur, besuk hari minggu bisa nggak saya mintain tolong antar saya ke ibu kehilangan suaminya yang sekitar setahun  lalu menemui Mak saya?” pinta Yanto.

“Ohh iya, ingat. Bapakmu masih hidup berarti yang meninggal itu suami ibu itu ya?” kata Purwanto tanpa menjawab permintaan Yanto.

“Hari minggu besuk bisa nggak antar saya ke rumah ibu itu pakai motor bapakmu?” pinta ulang Yanto.

“Saya pastikan dulu besuk, hari minggu motor dipakai bapak atau nggak ya?” jelas Purwanto.

“OK, saya tunggu kabar besuk”

Hampir setengah jam angkot berjalan, angkot sudah sampai didepan SMA 1, penumpang yang hampir semuanya siswa SMA 1 itu turun, termasuk Yanto dan Purwanto. Segera mereka masuk ke halaman sekolah dan menuju ke kelas masing-masing.

Tidak menunggu esok, jelang sore hari itu juga Purwanto menyempatkan menyamperi Yanto kerumah. Seperti biasa, sore hari Yanto sedang menunggu warungnya. Purwanto mengabarkan kalau bapaknya sudah mengijinkan hari minggu besuk bisa memakai motor untuk mengantar Yanto.

“Terimakasih ya sudah disempatkan kemari, sebetulnya kasih kabar besuk kalau ketemu kan bisa” kata Yanto.

“Ha...ha.. sudah lama juga saya tidak tengok rumahmu” jawab Purwanto.

“Sudah lama juga kita nggak mandi di sungai ya!” gurau Yanto.

“Iya, kapan ni kita mandi di sungai lagi? Tapi kata orang-orang sungai sekarang tidak sebersih seperti dulu sewaktu kita kecil ya?!” kata Purwanto.

“Iya, semakin banyak orang yang buang sampah di sungai, ikan juga sudah tidak ada karena dulu sering diindrin” jawab Yanto. “Eh.. mau minum apa?” lanjutnya.

“Nggak usah repot, apa saja mau” jawab Purwanto.

Yanto masuk kerumah untuk mengambil gelas lalu mengambil es dagangannya buat Purwanto.

“Bapak sama Mak kamu masih di kebun ya?” tanya Purwanto kemudian.

“Ya, bentar lagi pulang, paling lama jelang maghrib, mau nunggu ya?”

“Enggak ah, nanti kalau pulangnya sampai jelang maghrib kan nggak sebentar, lagian sepulang bapakmu merantau ini, saya sudah pernah ketemu bapakmu kok, salam saja sama mereka”

“Ohh ya sudah” kata Yanto.

Tidak lama kemudian, sewaktu ada pembeli, Purwanto ijin pulang.

__&&&__

 

Hari minggu waktu untuk Yanto menemui ibu kehilangan suaminya itu tiba. Jam 9 Purwanto janji bawa motor menyamperi Yanto ke rumah. Yanto sudah bersiap-siap, menyalin nama dan alamat ibu itu dan suaminya ke selembar kertas.

Sesaat kemudian Purwanto datang.

“Assalamu’alaikum” Purwanto mengucap salam dan langsung masuk rumah begitu melihat Yanto sudah duduk di kursi ruang tengah.

“Waalaikum salam, motor bapakmu masih BMW itu ya” ledek Yanto. “Bebek Merah Warnanya, he he... ” lanjutnya.

“Ya iya lah, mosok iya-iya dong, ayo kita langsung, pamit sama Bapak dan Mak kamu  mana?” kata Purwanto.

Pak Sukaryo dan Mak Salamah yang masih di belakang mendengar suara Purwanto segera ke depan.

“Mau langsung berangkat Nak Pur?” kata Pak Sukaryo.

“Iya Pak, Mak!” jawab Purwanto.

“Hati-hati ya, jangan ngebut-ngebut” kata Mak Salamah.

“Baik Mak” Jawab Purwanto sambil mendekat ke Mak Salamah dan Pak Sukaryo untuk berjabat taangan.

Yanto juga menyusul berpamitan dan berjabat tangan sama Mak dan Bapaknya.

“Berangkat dulu Mak, Pak, Assalamu’alaikum” kata Yanto

“Waalaikumsalam” jawab Pak Sukaryo dan Mak Salamah bersamaan.

Sambil jalan menuju motornya, Purwanto menanyakan alamat yang dituju pada Yanto.

“Alamatnya sudah ada?” tanya Purwanto.

“Beres, sudah saya salin di kertas ni!” jawab Yanto.

“OK, ayo”

__&&&__

 

Dalam perjalanan ke desa yang dituju, Purwanto dan Yanto sampai tanya beberapa kali sama orang yang kebetulan ada dipinggir jalan. Desa yang dituju lumayan jauh, lain kecamatan. Ada kalanya melewati kondisi jalan yang berbatu dan becek. Hampir 1 jam perjalanan baru masuk desa yang dituju. Setelah tanya pada penduduk desa setempat, Yanto dan Purwanto diantar seseorang sampai rumah ibu yang kehilangan suaminya.

“Assalamu’alaikum” mas pengantar mengucap salam duluan.

“Waalaikumsalam” ibu kehilangan suaminya segera keluar. “Ada apa Par?” lanjutnya.

Mas pengantar itu ternyata namanya Parjoyo. Masih ada hubungan kerabat sama ibu yang kehilangan suaminya itu.

“Ini, ada yang mencari Lik Narti” kata Parjoyo.

Ibu yang kehilangan suaminya itu namanya Sunarti.

“O oh, ayo mas masuk” kata Lik Narti mempersilahkan masuk Yanto dan Purwanto.

“Ya sudah, saya pamit dulu Lik” kata Parjoyo.

Yo, suwun” jawab Lik Narti.

Yanto dan Purwanto segera masuk mengikuti Lik Narti ke ruang tamu.

“Silahkan duduk” kata Lik Narti.

Setelah mereka duduk, Yanto segera menjelaskan maksud kedatangannya. Lik Narti segera ingat pada Yanto yang merupakan anaknya Mak Salamah. Yanto menyampaikan permintaan Mak Salamah supaya Lik Narti ke rumah Mak Salamah lagi, akan dikenalkan pada pak Sukaryo kalau masih hidup dan akan ditunjuki letak makam lelaki korban tabrak lari bus itu.

“Jadi benar bapakmu masih hidup?” kata Lik Narti sambil berfikir kalau yang meninggal korban tabrak lari bus itu pasti suaminya.

Yanto tidak menjawab, hanya memandang iba pada Lik Narti yang tampak sedih.

“Ya, sampaikan pada Mak kamu kalau Lik Narti ke rumah minggu depan” sambung Lik Narti sambil memperkenalkan Yanto untuk memanggilnya “Lik”.

“Baik Lik” Kata Yanto.

Tidak lama kemudian Yanto pamit pulang. Lik Narti menjawab salam dengan masih sambil termenung. Hal itu membuat Yanto sedikit mengurungkan kepergiannya.

“Lik Narti nggak apa?” tanya Yanto.

“Nggak apa” jawab Lik Narti.

“Lik Narti di rumah sama siapa?”

“Ada anak Lik Narti didalam”

“Ya sudah Lik, Yanto pulang, Assalamu’alaikum” Yanto kembali berpamitan dan mengucap salam lagi.

Sesaat Lik Narti belum menjawab salam Yanto.

“Assalamu’alaikum” Purwanto menyusul ikut mengucap salam pada Lik Narti.

“Waalaikumssalam” jawab Lik Narti.

Yanto dan Purwanto segera keluar dari rumah Lik Narti. Sementara Lik Narti masih duduk terdiam di kursi.

“Kasihan Lik Narti ya!” kata Yanto pada Purwanto.

“Iya, sama saja kamu kabari bahwa yang meninggal dan di makamkan oleh Mak kamu itu suaminya” jawab Purwanto sambil starter motornya.

“Sedihnya Lik Narti juga karena tidak bisa melihat meninggalnya dan merawat jenazah suaminya sewaktu meninggal tentunya” jawab Yanto mengira-ngira sambil naik ke boncengan motor Yanto.

__&&&__

 

Hari minggu, tepat satu minggu setelah Yanto ke rumah Lik Narti, Mak Salamah sudah menunggu kedatangan Lik Narti. Mak Salamah yang sudah diberitahu Yanto tentang rencana kedatangan Lik Narti, sengaja tidak pergi ke pasar hari itu. Mak Salamah merencanakan serah terima makam dan uang klaim asuransi ditambah uang kematian dari pemda kepada Lik Narti yang dulu diberi dari Bu Arifah. Mak Salamah juga mempersiapkan pembagian dagangan Yanto untuk Lik Narti, karena awal modal dagangan Yanto juga berasal dari uang kematian tersebut. Yanto juga setuju dengan rencana Mak Salamah.

Kira-kira pukul 9.20 pagi, Lik Narti tiba di rumah Mak Salamah. Lik Narti datang bersama kedua anaknya. Anak yang pertama perempuan, namaya Puji dan anak yang kedua laki-laki namanya Arif. Puji duduk di kelas 2 SMP, sedangkan Arif masih kelas 4 SD.

Pertemuan Lik Narti dan Mak Salamah menjadi pertemuan yang mengharukan. Mak Salamah langsung memeluk Lik Narti, keduanya langsung berkaca-kaca. Lik Narti sedih karena akhirnya mengetahui yang meninggal adalah suaminya, Mak Salamah juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Lik Narti. Perasaan iba Mak Salamah pada Lik Narti menjadikan tiba-tiba merasa dekat dengan Lik Narti, seperti dengan adik sendiri.

“Ayo, silahkan duduk dulu” Pak Sukaryo mempersilahkan duduk Lik Narti dan anak-anaknya karena Lik Narti dan Mak Salamah ketemu langsung ngobrol dengan masih dalam keadaan berdiri diteras rumah.

Setelah Lik Narti ketemu Pak Sukaryo, Lik Narti juga jadi maklum kalau ada yang menyamakan suaminya dengan Pak Sukaryo. Apalagi dengan kondisi muka luka dan lebam. Perawakan dan warna kulit persis sama, bentuk muka juga sama. Cuma wajahnya, yakni bentuk mata, hidung dan bibir yang beda. Jadi tidak bisa disalahkan, termasuk oleh Bu Arifah yang menyangka pertama kali kalau dengan kondisi wajah luka dan lebam, Pak Mulyono, suami dari Lik Narti itu dikira Pak Sukaryo suami Mak Salamah. Lik Narti juga sempat berfikir kalau dari belakang Pak Sukaryo mirip sekali dengan Pak Mulyono almarhum suaminya.

 “Sudah pada sarapan belum?” Mak Salamah tanya pada Lik Narti dan anak-anaknya.

Sampun Dhe” Lik Narti memanggilkan anak-anaknya pada Mak Salamah dan Pak Sukaryo dengan sebutan Dhe ( Bu Dhe / Pak Dhe ).

Iki jajanane dimaem” Mak Salamah menawarkan suguhan aneka jajanan yang sengaja dipersiapkan Mak Salamah untuk kedatangan Lik Narti. “Bentar lagi kita langsung ke makam dulu ya, biar nggak terlalu siangan” sambung Mak Salamah.

“Iya Dhe, sebelum dhuhur supaya bisa selesai dari makam dan nanti sampai rumah nggak kemalaman” jawab Lik Narti.

Sebentar kemudian mereka bersiap-siap untuk berangkat ke makam.

“Yanto, biar Yanto yang jaga rumah ya, bapakmu ikut ke makam, biar juga tahu makam Pak Mulyono” kata Mak Salamah.

“Baik Mak, siap” jawab Yanto.

“Ayo, tunggu apalagi” kata Pak Sukaryo.

“Ayo-ayo, Assalamu’alaikum” kata Mak Salamah dan Lik Narti hampir bersamaan mengucap salam pada Yanto yang tunggu di rumah.

“Waalaikum salam” jawab Yanto.

Letak Makam desa berjarak hampir 1 KM dari rumah Mak Salamah. Mereka berlima berjalan kaki santai. Tidak ada setengah jam perjalanan mereka sampai ke makam. Batu nisan masih tertulis nama Sukaryo.

“Besuk biar Yanto yang mengganti nama nisan ini” kata Pak Sukaryo pada Lik Narti dan Mak Salamah. “Mari kita kirim do’a dulu buat almarhum Pak Mulyono” sambung Pak Sukaryo yang langsung memimpin do’a.

Selesai dari makam mereka pulang, sampai rumah jelang dhuhur. Pak Sukaryo mengajak shalat berjamaah di rumah. Yanto segera menyiapkan tikar untuk shalat berjamaah di ruang tamu. Selesai shalat dhuhur berjamaah, Mak Salamah menyiapkan makan siang.

Istirahat sejenak selesai makan siang, Mak Salamah menjelaskan pada Lik Narti total uang yang dulu diberi dari Bu Arifah. Mak Salamah juga akan memberi uang bagi hasil dari dagangan Yanto karena awal modalnya juga dari uang tersebut.

Yen bagi hasil ora perlu, kan sing kerjo Yanto, mesakke Yanto Dhe” Lik Narti merasa bukan haknya kalau dagangan Yanto dikaitkan.

“Uang sejumlah itu yang dari Bu Arifah dikembalikan ke saya semua saja sudah berlebih, bukanya sudah dipakai buat biaya pemakaman dan biaya selamatan kirim do’a” kata Lik Narti lagi.

Ora Lik, kuwi wis hak e Lik Narti” Mak Salamah meyakinkan kalau uang itu sudah haknya Lik Narti.

Pokoke aku ra gelem nompo soko duwit bagi hasil dagange Yanto, meski akhire salah, kan soko awal duwit kuwi wis rejekine Dhe Salamah karo Yanto, aku ora ngerti opo-opo.” Lik Narti menegaskan tidak mau menerima uang bagi hasil dagangan Yanto, karena meskipun akhirnya salah memang dari awal itu rejekinya Mak Salamah dan Yanto, Lik Narti merasa ngak tahu apa-apa. “Aku justru matur suwun, almarhum Kang Mul wis dirawat lan dimakamke Dhe Salamah” lanjut Lik Narti justru mengucapkan terimakasih almarhum suaminya sudah dirawat dan dimakamkan oleh Mak Salamah.

Ternyata selain punya suami yang mirip, Lik Narti juga mempunyai sifat yang hampir sama dengan Mak Salamah, sangat berhati-hati dalam hal yang samar (abu-abu), tidak mau menerima yang bukan haknya, sederhana dan selalu menjaga hubungan baik dengan sesama.

“Lik Narti nduwe hak soko bagi hasil dagangane Yanto” Mak Salamah masih mengingatkan dan meyakinkan Lik Narti juga punya hak dari bagi hasil dagangan. “Kan iso kanggo mindah makam Lik” sambung Mak Salamah mengusulkan uang tersebut kan bisa untuk biaya memindahkan makam almarhum Pak Mulyono ke makam desanya sendiri.

Ora-ora, soko awal aku ra ngerti opo-opo, opo meneh niat nyilihi duwit kanggo dagangan Yanto, ora ngerti babar blas, yo ora perlu pindah makam, kono kene podo wae, bumi Allah” kata Lik Narti menegaskan masih menolak uang bagi hasil karena dari awal nggak tahu apa-apa, apalagi ada niat kasih pinjaman buat dagangan Yanto, ngggak tahu sama sekali, tidak perlu pindah makam, sana-sini sama saja, bumi Allah. “Titip makame almarhum Kang Mul supoyo Dhe Karyo karo Dhe Salamah melu bantu  rawat yo” lanjut Lik Narti memohon bantuan Pak Karyo dan Mak Salamah untuk ikut membantu merawat makam almarhum Pak Mulyono.

Mak Salamah menyodorkan sejumlah uang pada Lik Narti. Lik Narti hitung, benar saja, uang sebagian dikembalikan ke Mak Salamah. Lik Narti hanya menerima sejumlah uang sesuai jumlah pemberian Bu Arifah dulu. Lebih dari cukup katanya, karena sebetulnya sudah dipakai buat biaya almarhum dirawat memakamkan dan kirim do’a almarhum pak Mulyono oleh Mak Salamah.

Aku perlu nganakke kirim do’a sekaligus ngabarke marang tonggo-tonggo ngenani meninggale Kang Mul ora Dhe?” Lik Narti minta pendapat sama Mak Salamah, apa perlu mengadakan kirim do’a sekaligus mengabarkan pada para tetangga Lik Narti kalau Pak Mulyono sudah meninggal.

Yo perlu, perlune ngabarke meninggale Pak Mulyono” Mak Salamah mengatakan perlu, yang intinya perlu penegasan pada para tetangga mengenai meninggalnya Pak Mulyono.

Yo wis Dhe, minggu ngarep kirim do’ane, meninggale Kang Mul tanggal piro?” Lik Narti memastikan minggu depan kirim do’a yang intinya juga mengabarkan meninggalnya Pak Mulyono pada para tetangga dan bertanya meninggalnya Pak Mulyono tanggal berapa.

Mau ning pathok kan ono tanggal meninggale Lik!” Mak Salamah bilang tadi di batu nisan kan ada tanggal meninggalnya. Mungkin Lik Narti lupa, lalu Mak Salamah menyebutkan tanggalnya.

Setelah selesai shalat berjamaah ashar, beberapa saat kemudian Lik Narti pamit pulang. Mak Salamah juga sudah menyiapkan bawaan sembako dari dagangan Yanto. Yanto membantu membawakan bawaan buat Lik Narti sampai di pinggir jalan. Sampai di pinggir jalan itu Yanto masih ikut menunggu sampai ada angkot atau dokar yang bisa dinaiki Lik Narti dan anak-anaknya.

Setelah Yanto sampai rumah, Mak Salamah menyerahkan uang yang ditolak sama Lik Narti pada Yanto. Mak Salamah menyarankan uang itu untuk disedekahkan atas nama almarhum Pak Mulyono dan Lik Narti. Mak Salamah juga mengingatkan Yanto untuk segera mengganti pathok  (Batu Nisan) menjadi atas nama Pak Mulyono. Juga meminta pada Yanto untuk memberi daganganya saat Lik Narti mengadakan kirim do’a seperti minggu depan dan seterusnya. Yanto menurut saja sama Mak Salamah. Mak Salamah berjanji datang ke rumah Lik Narti pada saat kirim do’a minggu depan, merencanakan datang pagi-pagi untuk membantu.

 

7

KETULUSAN ITU DARI KEIKHLASAN DAN KEJUJURAN

 

 “Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik dihadapan Allah, demikian juga sebaliknya. Bisa jadi apa yang kita anggap baik itu buruk buat kita, apa yang kita anggap buruk bisa jadi itu baik untuk kita.”

 

Mak Salamah menepati janjinya untuk membantu Lik Narti saat kirim do’a buat almarhum Pak Mulyono. Mak Salamah berangkat pagi dengan membawa beras, minyak goreng, gula dan teh. Bukan cuma kali ini, Mak Salamah juga meminta pada Lik Narti untuk selalu diberi kabar sebelumya jika Lik Narti ada rencana kirim do’a selanjutnya. Sambil meracik bumbu dapur, Lik Narti dan Mak Salamah asyik mengobrol. Lik Narti jadi berfikir bagaimana bisa mengabari Mak Salamah besuk-besuk? Lalu Lik Narti teringat pada Bu Lastri tetangga yang bekerja di RSUD Kota, yang berarti teman kerja dari Bu Arifah tetangga Mak Salamah.

Yo, mengko tak titip pesen karo Bu Lastri” kata Lik Narti, ya nanti akan titip pesan lewat Bu Lastri. “Biar Bu Lastri menyampaikan ke  Bu Arifah” lanjutnya.

“Bu Lastri kuwi sopo?” Tanya Mak Salamah Bu Lastri itu siapa?

Konco kerjone Bu Arifah” Teman kerja Bu Arifah, jawab Lik Narti.

“Bu Lastri kerja di RSUD sebagai perawat juga?”

“Bagian Kantor, administrasi” jawab Lik Narti. “Mereka sudah saling kenal kok” lanjut Lik Narti.

“Kok wis ngerti mereka sudah saling kenal?”

“Bu Lastri wis ngerti ceritane Almarhum Kang Mul karo Dhe Sukaryo ning kantor diceritani Bu Arifah, terus wingenane nemoni aku ucapke belasungkawa” Lik Narti menjelaskan kalau Bu Lastri sudah tahu cerita tentang Almarhum Pak Mulyono dan Pak Sukaryo di Kantor, kemudian kemarin lusa Bu Lastri ke rumah Lik Narti untuk menyampaikan bela sungkawa.

“Rumah Bu Lastri ada pesawat teleponnya juga?” tanya Mak Salamah. “Brarmbange semena cukup ora?” lanjut Mak Salamah yang sambil mengupas bawang merah menanyakan bawang merah segini sudah cukup belum?

“Pastinya punya, seperti Bu Arifah, iyo Dhe cukup semono disik brambange

Dengan seringnya Mak Salamah bertandang ke rumah dan membantu Lik Narti, membuat mereka semakin dekat. Mak Salamah juga makin kenal sama anak-anak Lik Narti yaitu Puji dan Arif. Kedekatan itu mengalir karena ketulusan dari mereka semua.

__&&&__

 

Pak Sukaryo berniat membuatkan kios buat dagang Yanto di teras rumah. Dagangan Yanto semakin banyak, repot kalau tiap hari mengusung keluar masuk rumah. Pak Sukaryo sebelum merantau punya pekerjaan tukang bangunan kayu, karena sepi job makanya pak Sukaryo memutuskan untuk merantau. Dikeluarkan dan dibersihkan semua peralatan tukang kayunya yang sudah ditinggalnya selama 6 tahun. Peralatan yang tidak bisa diperbaiki maka Pak Sukaryo harus beli lagi.

Pak Sukaryo sudah memulai persiapan membeli balok kayu dan papan kayu jati dalam pembuatan kios dagangan Yanto. Begitu kayu-kayu sudah datang, Pak Sukaryo segera mengerjakan. Di sore hari Yanto bisa membantu Pak Sukaryo sambil menunggu dagangannya. Dalam beberapa hari saja kios tersebut sudah jadi. Setelah itu Pak Sukaryo juga berniat merenovasi rumahnya pada bagian dinding depannya diganti dengan papan kayu jati yang bagus dan rapi.

Kebersamaan Yanto dan bapaknya membuat Yanto semakin dekat lagi sama bapaknya. Yanto tidak salah paham lagi sama bapaknya, tahu alasan kenapa bapaknya sampai pergi merantau. Kepergian bapaknya merantau justru karena sangat cintanya pada Yanto. Pak Sukaryo pergi merantau untuk mempersiapkan biaya pendidikan Yanto sampai tinggi.

Tidak ada 1 bulan kios dan renovasi teras rumah sudah selesai. Rencana selanjutnya Pak Sukaryo akan memasang tegel / keramik lantai rumah. Lantai rumah Pak Sukaryo selama ini cuman tanah. Untuk pekerjaan ini Pak Sukaryo memerlukan tukang bangunan batu.

Esuk harinya Pak Sukaryo menemui Pak Sabar tetangganya yang berprofesi sebagai tukang bangunan batu, menanyakan kapan ada waktu untuk mengerjakan mentegel / keramik lantai rumah Pak Sukaryo. Dari rumah Pak Sabar, Pak Sukaryo langsung ke toko bangunan dekat pasar kota kecamatan. Pak Sukaryo memesan semua material yang diperlukan untuk mentegel / keramik lantai rumahnya. Keramik, semen, pasir, batu bata, dan lain-lainnya semua langsung diantar ke rumah Pak Sukaryo.

Sekitar 2 minggu lantai rumah Pak Sukaryo sudah selesai dipasang keramik. Sekarang rumah Pak Sukaryo sudah kelihatan bagus. Bagian dinding depanya sudah berpapan rapi dan di cat dengan warna kuning cerah. Tiang-tiangnya di cat warna hijau. keramik lantai juga berwarna hijau.

“Alhamdulillah, rumah kita sudah seperti rumah orang-orang Yanto” kata Pak Sukaryo. “Jangan takut, uang bapak juga masih ada buat keperluan sekolah kamu” lanjut Pak Sukaryo.

“Iya pak, Yanto juga sudah bisa menabung sendiri dari hasil dagangan Yanto” jawab Yanto.

__&&&__

 

Yanto sudah kelas 3 SMA, saat kondisi pak Sukaryo sakit-sakitan. Mak Salamah sudah berusaha mencari pengobatan kesana kemari. Dokter juga belum bisa memastikan sakit apa, menyarankan untuk opname saja di rumah sakit. Tapi pak Sukaryo tidak mau opname di rumah sakit. Akhirnya dokter menganjurkan untuk test darah di Laboratorium Klinik. Dokter langsung memberi surat pengantar untuk periksa di Laboratorium Klinik.

“Bapakmu untuk test darah di laboratorium klinik saja tidak mau Yanto” keluh Mak Salamah pada Yanto.

“Ya sudah, besuk Yanto minta ke petugas di Laboratorium, untuk test darah pasien di rumah”.

“Semoga petugasnya mau ya Yanto”.

“Yanto kira bisa Mak, kan pasti ada kasus pasien yang sudah tidak bisa jalan atau memang tidak mau berobat keluar rumah seperti bapak” jelas Yanto.

Esuk harinya Yanto ke Laboratorium Klinik, tidak lama kemudian petugas Laboratorium Klinik datang kerumah. Mereka memeriksa kondisi pak Sukaryo, mengambil sampel darah, feces dan urine Pak Sukaryo. Besuk harinya lagi Yanto diminta datang ke Laboratorium Klinik untuk mengambil hasil pemeriksaan.

Hasil Lab sudah diambil Yanto, hasilnya pak Sukaryo menderita kanker hati dari penyakit Hepatitis akut yang oleh Pak Sukaryo tidak dihiraukan. Dikawatirkan tertular, atas saran dokter, Yanto dan Mak Salamah diminta periksa ke Lab juga. Alhamdulillah hasilnya negatif, Mak Salamah dan Yanto tidak tertular Hepatitis dari Pak Sukaryo.

Kawatir sakit bapaknya makin parah, kali ini Yanto yang membujuk Pak Sukaryo untuk mau berobat inap di Rumah Sakit. Perlu beberapa hari untuk akhirnya Pak Sukaryo pasrah mau di bawa ke Rumah Sakit. Pak Sukaryo menjalani rawat inap di RSUD Kota Kabupaten tempat Bu Arifah bekerja. Di RSUD itu Pak Sukaryo dirawat di ICU.

Mak Salamah dan Yanto bergantian untuk jaga pak Sukaryo rawat inap. Lik Taripin hampir tiap hari juga bezuk tapi seringnya terus pamit pulang, kadang-kadang saja ikut inap jaga. Di ruang tunggu ICU ini, mengingatkan Mak Salamah sewaktu menunggu Pak Mulyanto yang dikira Kang Karyo suaminya. Satu minggu Pak Sukaryo dirawat di ICU, lalu dipindah diruang perawatan biasa. Baru satu hari di ruang perawatan biasa, pak Sukaryo Drop lagi, sehingga kembali dirawat di ruang ICU.

Hari ini tepat 2 minggu sudah pak Sukaryo rawat inap di RSUD. Mak Salamah diminta ke ruang administrasi untuk membayar cicilan sementara biaya rawat inap. Biaya rawat inap 2 minggu di ICU jumlahnya lumayan besar bagi Mak Salamah. Tabungan pak Sukaryo buat persediaan biaya pendidikan Yanto terpaksa dipakai.

“Uang tabungan bapakmu untuk biaya kuliahmu besuk sebagian Mak pakai buat biaya rawat inap di ICU ini Yanto!” Kata Mak Salamah.

“Nggak apa Mak, semoga bapak lekas sembuh” jawab Yanto.

“Bapakmu juga belum ada perkembangan kapan mau sembuh”

“Uang Tabungan Yanto buat biaya rawat inap bapak juga nggak apa Mak!” jawab Yanto menawarkan Mak Salamah.

“Nggak, uang bapakmu masih, semoga saja bapakmu lekas sembuh”

“Aamiiin, Aamiiin, Aamiiin Ya Rabbbal Alamin” jawab Yanto.

Ketulusan Yanto membuktikan keikhlasan dari musibah yang menimpa Pak Sukaryo dan kejujurannya betapa Yanto mencintai bapaknya. Mak Salamah semakin bangga pada Yanto tapi disisi lain sekaligus mengkawatirkan nasib pendidikan Yanto besuk.

__&&&__

 

Satu bulan sudah Pak Sukaryo rawat inap di RSUD Kota Kabupaten, hingga suatu hari sewaktu fajar menjelang Subuh, Yanto yang kebetulan saat itu jaga dengan Lik Taripin dipanggil perawat jaga. Kondisi Pak Sukaryo drop. Melihat kondisi bapaknya sakaratul maut, Yanto mentalkin pak Sukaryo. Sesaat kemudian pak Sukaryo menghembuskan nafas terakhir, Innalillahi wa innailahi rojiun. Lik Taripin mengusap wajah dan menutup mata pak Sukaryo.

Selesai shalat Shubuh, sambil menunggu keberangkatan jenazah Pak Sukaryo ke rumah, Yanto menuju ke telepon umum koin yang tersedia di RSUD. Yanto telepon rumah Bu Arifah untuk titip menyampaikan pesan pada Mak Salamah. Lik Taripin pulang dulu ke rumah Yanto untuk membantu Mak Salamah beres-beres rumah. Tinggal Yanto yang di Rumah Sakit menunggu dan nanti ikut ambulan mengantar jenazah Pak Sukaryo ke rumah.

Sementara di rumah Mak Salamah, pagi-pagi sudah banyak tetangga yang berkunjung untuk membantu atau sekedar menghibur Mak Salamah. Setelah Bu Arifah dapat telepon dari Yanto tadi, segera memberi kabar Mak Salamah dan pak RT mengenai meningalnya Pak Sukaryo. Bu Arifah juga menelepon semua kenalannya yang kenal sama Pak Sukaryo dan Mak Salamah, termasuk telepon Bu Lastri teman kerjanya yang satu desa dengan Lik Narti, titip pesan ke Lik Narti mengenai meninggalnya Pak Sukaryo.

Pagi ini Bu Arifah sengaja tetap masuk kerja dulu sambil membantu Yanto menyelesaikan administrasi. Membantu untuk proses pemulangan jenazah agar disegerakan. Setelah itu baru ijin pulang untuk ikut takziyah.

Hampir pukul 09.00 ambulance sudah sampai rumah Mak Salamah. Rencana pemakaman Almarhum Pak Sukaryo sehabis dhuhur. Sebelum ambulan datang, sudah banyak orang yang datang takziyah, semakin siang menjelang pemakanan yang takziyah makin banyak. Tetangga sampai pada heran, Pak Sukaryo yang orang biasa, saat meninggalnya kok banyak sekali yang takziyah. Maklum, Pak Sukaryo semasa hidup sama dengan Mak Salamah, selalu menjaga hubungan baik dengan semua orang. Setiap orang yang pernah menggunakan jasa Pak Sukaryo sebagai tukang bangunan kayu pasti menganggap Pak Sukaryo seperti saudara, tali silaturahmi tetap terus berjalan.

Lik Narti pun bisa sampai rumah Mak Salamah belum lama setelah kedatangan jenazah. Lik Narti langsung menemui Mak Salamah dan merangkulnya tanpa bisa berkata-kata, Mak Salamah yang semula kelihatan tegar ikut berkaca-kaca setelah memeluk Lik Narti. Lik Narti dan Mak Salamah, meskipun perkenalan mereka belum seberapa lama tapi ikatan batinnya sudah seperti kakak adik. Setahun terakhir ini mereka tidak bertemu. Terakhir mereka bertemu saat Mak Salamah membantu Lik Narti pada acara kirim do’a 1000 hari meninggalnya Pak Mulyono. Ketulusan keduanya itulah yang menyatukan mereka.

Selesai dhuhur, prosesi pemberangkatan pemakaman Pak Sukaryo akan segera dimulai. Pak RT yang membawakan acara sekaligus memberi kata sambutan kemudian mempersilahkan pada Pak Ahmad modin Desa untuk menyampaikan prosesi inti pemberangkatan jenazah. Yanto yang semula tegar ikut berkaca-kaca sewaktu pak Ahmad menyampaikan do’a buat almarhum Pak Sukaryo.

Pemberangkatan jenazah dimulai. Dari sebelum berangkat, sewaktu prosesi inti pemberangkatan, dan jenazah masih diam dipandu keranda, banyak orang yang berebut menggantikan buat memikul pandu keranda jenazah almarhum Pak Sukaryo. Sampai sepanjang jalan dari rumah ke pemakaman, orang silih berganti meminta untuk bisa memikul keranda jenazah almarhum.

Proses pemakaman selesai, orang-orang yang ikut takziyah sampai ke pemakaman sudah pada pulang. Tinggal Yanto dan Lik Taripin yang masih jongkok di makam mendo’akan almarhum. Mak Salamah sendiri tidak ikut ke pemakaman karena tidak kuasa untuk ikut jalan sampai pemakaman. Dalam perjalanan pulang, Lik Taripin baru mengingatkan Yanto, kenapa Mak Salamah tidak ikut ke pemakaman.

“Mak kamu nggak kamu ajak ikut ke pemakaman Yanto?”

“Mak jalannya begitu, nanti tertinggal dengan jalannya keranda jenazah Lik!” jawab Yanto.

“Harusnya ada yang boncengin sepeda motor”

“Nggak ada kepikiran begitu tadi, kita sendiri kan fokus untuk ikut memikul keranda bapak, lagian yang takziyah bawa kendaraan terus ikut sampai ke pemakaman juga pada jalan kaki, nggak ada sepeda motor jalan kan tadi” jelas Yanto.

“Ya sudahlah, Mak kamu paling juga sudah memahami itu” kata Lik Taripin mengakhiri pembicaraan hal itu.

__&&&__

 

Satu minggu sudah setelah meninggalnya Pak Sukaryo, Mak Salamah dan Yanto masih terbayang-bayang sosok suami dan ayahnya. Terkadang sesaat mereka merasa bahwa Pak Sukaryo masih ada, tapi entah dimana atau masih merantau kerja, sebentar kemudian baru menyadari bahwa Pak Sukaryo sudah tiada.

“Yanto kadang merasa bapak masih ada Mak, kadang merasa ini seperti meninggalnya pak Mulyono dulu, bahwa yang meninggal itu bukan bapak” curhat Yanto pada Mak Salamah.

“Mak kadang juga merasa begitu, apalagi kita punya pengalaman dengan meninggalnya pak Mulyono dulu”

 “Kemarin tabungan Yanto sudah Yanto ambil semua untuk menambah biaya administrasi Rumah Sakit, uang yang Mak titip ke Bu Arifah masih kurang banyak” ujar Yanto.

“Yanto nggak apa-apa? Semoga cepat bisa dapat ganti” kata Mak Salamah.

“Nggak apa Mak, Yanto ikhlas, itu tidak seberapa dibanding pengurbanan bapak untuk kita selama ini” kata Yanto “Cuman kasih tahu Mak saja, tidak menyangka usia bapak sampai segitu ya Mak” lanjut Yanto.

Mak Salamah yang sudah hafal karakter Yanto bisa melihat, ada kejujuran pada diri Yanto. Kejujuran dan keikhlasan itu menandakan bahwa Yanto benar-benar tulus. Hanya saja, untuk mengurangi kesedihan Yanto, Mak Salamah berusaha menasehati Yanto panjang lebar.

“Sudah-sudah, jangan berlarut bersedih kemudian menyesali, sudah takdir bapakmu usia segitu. Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik dihadapan Allah, demikian juga sebaliknya. Bisa jadi apa yang kita anggap baik itu buruk buat kita, apa yang kita anggap buruk bisa jadi itu baik untuk kita. Karenanya, belum tentu yang tidak enak yang terjadi pada kita itu merupakan keburukan. Juga, belum tentu sesuatu yang enak yang terjadi pada kita itu merupakan kebaikan. Ada hikmah dibalik semua peristiwa. Anggap saja semua itu ujian, ujian tentu buat kebaikan yang diuji”.

“Baik Mak, ngomong-ngomong ujian, bulan depan Yanto sudah ujian kelulusan SMA Mak, do’akan Yanto ya Mak!”

“Iya, kamu dan bapakmu selalu Mak do’akan selesai shalat-shalat fardhu Mak, selesai shalat tahajud Mak”

 

Nang Nayoko Aji, terlahir dengan nama NAYOKO AJI di Blora Jawa Tengah nama panggilan Aji, sewaktu kecil dipanggil Nanang. Sering karena banyak teman yang namanya juga Aji jadi dipanggil Nayoko. Masa kecil sampai Lulus SMA tinggal bersama orang tua di Kelurahan yang juga merupakan Kota Kecamatan Ngawen Kabupaten BLORA. Menyelesaikan pendidikan TK, SD, SMP di Ngawen, SMA di SMAN 1 Blora tahun 1990, DIII Teknik Mesin di Universitas Diponegoro Semarang tahun 1994, S1 Teknik Mesin di Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1997. Berbagai pengalaman kerja dijalani mulai dari mengajar di STM BHINNEKA Patebon Kendal tahun ajaran 1998/1999. Staff Umum di Perusahaan Tambak dan Pembekuan Udang PT Seafer General Foods di KENDAL tahun 1999 – 2001. Mengelola Rental dan Pelatihan Komputer di Tembalang SEMARANG tahun 2002 – 2005. Staff sampai menduduki posisi Supervisor Regional Distribution Center / Kepala Gudang Wilayah di PT Columbindo Perdana / Columbia Cash and Credit tahun 2005 sampai PT tersebut bermasalah resign tanggal 1 April 2019.

Komentar

Posting Komentar