Langsung ke konten utama

Jejak Historis Nusantara Menuju Modernisasi Ibu Kota

 


 

Menelusuri evolusi makna “Nusantara”, dari akar historis (Sumpah Palapa dan kerajaan maritim kuno), hingga identitas kebangsaan Indonesia dari keragaman budaya, kearifan lokal, akulturasi peradaban. Menjadi nama Ibu Kota baru Indonesia, Ibu Kota Nusantara (IKN). Dan menganalisis bagaimana visi IKN berusaha merefleksikan nilai-nilai ini melalui perpaduan modernitas, kearifan lokal, dan pemanfaatan teknologi menjadi kota hijau (green city) dan kota pintar (smart city).

A.    Nusantara: Dari Sumpah Palapa ke Identitas Kebangsaan

Nusantara berarti “pulau-pulau perantara” pertama kali digunakan pada 1365 M oleh Patih Gajah Mada dalam sumpahnya untuk menyatukan seluruh wilayah taklukan Kerajaan Majapahit (1293-1500M), dikenal dengan Sumpah Palapa. Nusantara menjadi identitas budaya-historis kawasan yang sebagian besar sekarang menjadi wilayah teritorial Indonesia.

Nusantara merupakan kawasan kepulauan yang kaya budaya, sangat beragam etnis, bahasa, dan tradisi, memiliki sejarah panjang perdagangan maritim, menjadi pertemuan antara budaya Asia, Timur Tengah, dan dunia Barat.

Sehingga Nusantara dikenal sebagai peradaban maritim tua, sebagai pusat kerajaan dan pelaut (Sriwijaya, Majapahit). Jaringan perdagangan rempah, jalur sutra maritim. Karena itu, masyarakat internasional memandang Nusantara sebagai wilayah strategis yang historisnya berpengaruh pada perdagangan dunia.

Sejarah panjang terbentuknya keberagaman suku dan etnis di Nusantara yaitu dari migrasi yang bergelombang, terbatasnya interaksi antar komunitas di masa lampau oleh faktor geografis (kepulauan, sungai besar, pegunungan, dan hutan), asimilasi karena sejarah perdagangan.

Menjadikan Nusantara identitas yang kompleks dan beragam. Contoh aspek keragaman itu yaitu terdapat lebih dari 1.300 kelompok etnis dan evolusi linguistik terbentuknya lebih dari 700 bahasa daerah di Nusantara.

Nusantara juga sebagai identitas dengan kekayaan alam eksotis sering diasosiasikan dengan keindahan tropis, keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi, keunikan flora-fauna (komodo, orang utan, hutan hujan tropis).

Banyak akademisi melihat Nusantara sebagai ruang budaya yang cair, dinamis, dan kosmopolit sejak ribuan tahun lalu. Persepsi akademisi tentang istilah Nusantara dalam kajian budaya umumnya sangat kompleks dan multidimensi, melampaui makna geografis semata. Istilah ini dilihat sebagai kerangka konsep yang penting untuk memahami identitas, sejarah, dan keragaman budaya Nusantara (Asia Tenggara Maritim).

Nusantara sebagai ruang geografis dan historis, konsep yang melampaui batas negara saat itu, mencakup kawasan yang memiliki akar sejarah dan budaya serumpun (Asia Tenggara Maritim). Namun, dalam kajian budaya modern, Nusantara dipersepsikan sebagai kepulauan Indonesia. Sering digunakan sebagai sinonim untuk wilayah geografis Republik Indonesia saat ini.

Nusantara sebagai wadah akulturasi budaya. Wilayah yang sejak lama menjadi tempat pertemuan dan adaptasi berbagai peradaban besar dunia (India, Tiongkok, Arab, Eropa) dengan cita rasa dan kearifan lokal. Dalam konteks kajian budaya, Nusantara dianggap sebagai fondasi dari kekayaan dan kompleksitas budaya Indonesia.

Sehingga Nusantara saat ini dimaknai sebagai identitas kebangsaan Indonesia. Sebagai payung untuk memahami ke-Indonesia-an yang majemuk. Ia menekankan pada kebhinekaan, persatuan, dan toleransi di tengah masyarakat multikultural.

Sebagai identitas kebangsaan Indonesia, kearifan lokal Nusantara perlu dijaga. Kearifan lokal itu meliputi kekayaan pengetahuan tradisional, falsafah hidup, sistem nilai, dan adaptasi terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang tersebar di berbagai etnis di seluruh kepulauan. Sintesis antara kearifan lokal berupa nilai-nilai asli (etnis) dengan nilai-nilai yang datang dari luar, membentuk pandangan dunia terhadap kebudayaan Nusantara yang khas.

Persepsi akademisi juga melihat gagasan Nusantara sebagai materi penting dalam pendidikan, terutama untuk memperkuat jati diri pada identitas Nasional ditengah modernitas dan globalisasi. Menciptakan harmoni sosial, nilai-nilai budaya Nusantara (seperti pluralisme dan toleransi).

Singkatnya, bagi akademisi, Nusantara bukan hanya nama tempat, melainkan kerangka konseptual yang dinamis untuk menganalisis keragaman, sejarah, dan fondasi identitas budaya di wilayah kepulauan Indonesia dan sekitarnya.

B.     IKN: Transformasi Visi Historis ke Kota Futuristik.

Dari fondasi sejarah ini, nama “Nusantara” berevolusi menjadi nama Ibu Kota baru Indonesia, Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemilihan nama itu juga mengandung cita-cita untuk merefleksikan jejak historis Nusantara yang modern. Menjadikan IKN sebagai kota modern yang inklusif, pluralistik dan toleran, mencerminkan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan maritim yang terdiri dari banyak pulau dan budaya, serta untuk memperkuat simbol persatuan nasional.

Visi Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota baru Indonesia menekankan konsep kota hutan yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis teknologi, dengan tujuan mewujudkan keseimbangan antara pembangunan modern dan pelestarian budaya Nusantara.

Sebagai pusat pemerintahan modern yang futuristik, IKN dirancang menjadi kota kosmopolit, kota hijau (minim dampak deforestasi / 75% ruang hijau, menjaga ekologi dan habitat satwa), dan kota pintar (infrastruktur cerdas, efisiensi, konektivitas, dan potensi pemanfaatan teknologi). Maka IKN diharapkan menjadi simbol transformasi Indonesia menuju pusat gravitasi baru.

IKN dirancang sebagai kota hutan yang mengintegrasikan alam dan lingkungan. Ini berarti mengurangi jejak karbon, menggunakan energi terbarukan, dan melestarikan keanekaragaman hayati. Pendekatan ini menarik perhatian global karena semakin banyak peradaban yang berjuang dengan tantangan lingkungan.

Penggunaan teknologi mutakhir untuk efisiensi, konektivitas, dan kualitas hidup akan menarik talenta dan inovasi dari seluruh dunia. Sistem transportasi cerdas, pengelolaan limbah otomatis, dan infrastruktur digital yang kuat menciptakan lingkungan yang menarik bagi masyarakat global yang mencari efisiensi dan inovasi.

Arsitektur dan Tata Ruang Adaptif. Desain yang mempertimbangkan iklim tropis dan budaya lokal, namun tetap modern dan fungsional, dapat menjadi model bagi kota-kota lain di dunia. Ruang publik yang hijau dan inklusif mendorong interaksi sosial dan budaya.

IKN akan menjadi Pusat Inovasi dan Ekonomi Berbasis Pengetahuan dengan cara membangun Ekosistem Riset dan Pengembangan (R&D) yang kuat melalui daya tarik bagi pusat penelitian, universitas, dan perusahaan teknologi global. Untuk mencapai hal ini, IKN akan memanfaatkan Kawasan Ekonomi Khusus yang menawarkan insentif investasi di sektor teknologi tinggi, energi terbarukan, dan ekonomi kreatif.

Lebih lanjut, kehadiran Lembaga Pendidikan Berstandar Internasional di IKN akan berfungsi sebagai katalisator untuk menarik talenta global, memupuk pertukaran intelektual dan budaya yang menjadi landasan bagi titik temu peradaban.

Sebagai ibu kota baru, IKN dijadikan simbol pluralisme dan keberagaman budaya. Sebagai representasi multikultural, memiliki kesempatan untuk secara aktif merangkul dan menampilkan keragaman etnis, agama, dan budaya Indonesia. Ini bisa melalui festival, museum, pusat kebudayaan, dan ruang publik yang didesain untuk merayakan keberagaman.

Ketersediaan fasilitas seperti sekolah internasional, tempat ibadah untuk berbagai agama, dan pusat kebudayaan dari berbagai negara akan membuat IKN menarik bagi ekspatriat, diplomat, dan wisatawan. IKN akan menjadi pusat diplomasi Indonesia, tempat pertemuan para pemimpin dunia dan organisasi internasional. Ini secara inheren menjadikannya titik temu bagi peradaban yang berbeda untuk berdialog dan bernegosiasi.

Gerbang Konektivitas Regional dan Global. Infrastruktur transportasi modern, pembangunan bandara internasional, pelabuhan, dan jaringan jalan tol yang efisien akan menghubungkan IKN dengan kota-kota besar di Asia dan dunia, memfasilitasi pergerakan manusia, barang, dan ide.

Jaringan internet berkecepatan tinggi dan infrastruktur digital yang canggih akan mendukung konektivitas digital yang vital di era globalisasi, memungkinkan kolaborasi jarak jauh dan pertukaran informasi global.

Dari jejak historis Nusantara juga, IKN diharapkan bukan sekedar sebagai “eksperimen urban masa depan” atau “laboratorium sosial dunia”. Namun harus bisa menjadi ruang budaya kosmopolit yang menjadi “titik temu berbagai peradaban” (melting pot), mewujudkan identitas eksotis dan ekologis dengan kekayaan alam yang unik.

Dari semua desain kota tersebut diupayakan agar IKN bisa menjadi “pusat interaksi budaya global” di era globalisasi. Ini mengacu pada gagasan bahwa IKN akan menjadi sarana di mana berbagai budaya, ide, inovasi, dan masyarakat dari seluruh dunia dapat berinteraksi, berkolaborasi, dan berkembang bersama.

 

https://www.ikn.go.id/en

https://www.researchgate.net/publication/305151728_Nusantara_History_of_a_Concept

https://www.undp.org/indonesia/publications/imagining-nusantara-capital-city-ikn


 

Nang Nayoko Aji, terlahir dengan nama NAYOKO AJI di Blora Jawa Tengah nama panggilan Aji, sewaktu kecil dipanggil Nanang. Sering karena banyak teman yang namanya juga Aji jadi dipanggil Nayoko. Masa kecil sampai Lulus SMA tinggal bersama orang tua di Kelurahan yang juga merupakan Kota Kecamatan Ngawen Kabupaten BLORA. Menyelesaikan pendidikan TK, SD, SMP di Ngawen, SMA di SMAN 1 Blora tahun 1990, DIII Teknik Mesin di Universitas Diponegoro Semarang tahun 1994, S1 Teknik Mesin di Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1997. Berbagai pengalaman kerja dijalani mulai dari mengajar di STM BHINNEKA Patebon Kendal tahun ajaran 1998/1999. Staff Umum di Perusahaan Tambak dan Pembekuan Udang PT Seafer General Foods di KENDAL tahun 1999 – 2001. Mengelola Rental dan Pelatihan Komputer di Tembalang SEMARANG tahun 2002 – 2005. Staff sampai menduduki posisi Supervisor Regional Distribution Center / Kepala Gudang Wilayah di PT Columbindo Perdana / Columbia Cash and Credit tahun 2005 sampai PT tersebut bermasalah resign tanggal 1 April 2019.

Komentar