Langsung ke konten utama

Beragam Perspektif tentang Melayu di Nusantara

  


 

Pluralitas Melayu di Nusantara menunjukkan adanya beragam persepsi dan pemahaman tentang identitas Melayu, serta asal-usul bahasa dan budaya Melayu. Persoalan ini muncul karena perkembangan Melayu tidak hanya berasal dari satu kelompok etnis, tetapi juga hasil interaksi dagang antar berbagai suku di Nusantara. Pluralitas ini juga terkait dengan beragamnya teori tentang asal-usul istilah, budaya, dan Bahasa Melayu.

Pluralitas Melayu juga menunjukkan keberagaman di Nusantara, baik dalam hal suku, ras, budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman ini dapat menjadi kekuatan jika dipahami dan dikelola dengan baik. Maka diperlukan elaborasi agar dapat menjadi kekuatan persatuan dan kesatuan berbagai suku di Nusantara dengan sikap saling menghargai dan mengakui perbedaan.

Asal-usul istilah "Melayu”, awalnya merujuk pada nama tempat (toponim) di Jambi, Sumatra. Kemudian, setelah abad ke-15, istilah ini mulai digunakan untuk merujuk pada suku, etnis, bahasa, dan budaya. Peradaban Melayu berkembang di jalur perdagangan utama Nusantara, khususnya Selat Malaka, karena interaksi dagang antara suku-suku di Nusantara menjadi awal terbentuknya masyarakat Melayu Dagang.

Interaksi dagang yang membentuk masyarakat Melayu telah menciptakan beragam persepsi tentang Melayu di kalangan suku-suku Nusantara. Teori Asal-Usul Melayu dan Bahasa Melayu masih diperdebatkan. Beberapa peneliti, seperti Nothofer via Collins (2005), berpendapat bahwa bahasa Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Prof. Emeritus Dr. James T. Collins, ahli linguistik, berpendapat bahwa Bahasa Melayu yang otentik berasal dari Maluku. Penelitian terkait Melayu belum sepenuhnya selesai (Stephen Oppenheimer)

Awal peradaban Melayu berkembang di Palembang, Jambi, dan Riau hingga Temasik-Johor. Ini didapat dari bukti-bukti situs, artefak, prasasti, jejak Kerajaan Melayu Kuno (Kerajaan Bintan-Temasik), warisan budaya, sastra hingga seni.

Bangsa Nusantara adalah sebuah entitas bangsa besar yang telah eksis sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Dalam jangkauan yang lebih luas, bangsa Nusantara masuk kedalam rumpun Austronesia/Polynesia. Karena suku-suku di Nusantara mempunyai bahasa yang berbeda-beda, sedang urusan antar suku yg paling urgent itu perdagangan. Maka bahasa yang terbentuk dari interaksi perdagangan di Nusantara itulah yang menjadi cikal-bakal Bahasa Melayu.

Beberapa perspektif tentang Melayu di Nusantara sebagai berikut :

1.      Maluku

Maluku mempunyai 62 bahasa daerah. Suku-suku di Maluku, seperti suku Ternate, Tidore, dan Ambon, memiliki sejarah dan budaya yang kaya dan beragam. Sejak dulu sebelum kedatangan bangsa Portugis pada tahun 1512 di Ternate, bahasa Melayu telah digunakan di Kepulauan Maluku sebagai bahasa perdagangan / basantara (bahasa perantara / lingua francas). Lagu-lagu tradisional seperti "Rasa Sayange" dan "Ayo Mama" juga mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Maluku yang terkait dengan Melayu. Maluku merupakan penghasil cengkeh terbesar di Nusantara, dan cengkeh adalah komoditas perdagangan utama Nusantara.

2.      Jawa

Kalau dari perspeptif Jawa, kata "Melayu" berasal dari kata "mlayu" dalam Bahasa Jawa yang berarti "berlari" atau "melarikan diri" dan diinterpretasikan sebagai orang Jawa yang berhijrah atau berlari ke daerah lain untuk berdagang, termasuk sampai ke Selat Malaka. Ini juga merupakan salah satu teori etimologi dan telah dibahas dalam beberapa kajian linguistik dan sejarah.

Etimologi kata "Melayu" masih menjadi topik perdebatan di kalangan ahli sejarah dan linguistik. Beberapa ahli memiliki pandangan berbeda tentang asal-usul kata "Melayu", dan tidak semua sepakat dengan interpretasi bahwa kata tersebut berasal dari Bahasa Jawa.

Dalam perdagangan Nusantara dulu, Jawa memiliki beberapa komoditas yang sangat penting dan dicari oleh pedagang dari berbagai wilayah. Padi merupakan tanaman penting di Jawa dan banyak dibudidayakan, namun komoditas utama dari Jawa yang diperdagangkan dalam jaringan perdagangan Nusantara tidak hanya padi.

Beberapa komoditas utama dari Jawa yang diperdagangkan dalam era perdagangan Nusantara antara lain : rempah-rempah (meskipun cengkeh berasal dari Maluku, Jawa juga memiliki peran dalam perdagangan rempah-rempah lainnya seperti lada dan pala), gula, kopi, kain batik dan tekstil.

Banyaknya komoditas perdagangan Nusantara dari Jawa dan Sunda, dibuat kapal yang sangat besar yang disebut Kapal Jong (Jung) Jawa. Kapal ini menjadi ikon dalam sejarah maritim Nusantara sebagai kapal terbesar. Selain sebagai kapal dagang, beberapa kerajaan Jawa juga menggunakan Jong sebagai kapal perang, seperti Kesultanan Demak dan Majapahit.

3.      Sunda

Dalam perspektif suku Sunda, Melayu dilihat sebagai bagian dari jaringan budaya dan sejarah yang lebih luas di Nusantara. Suku Sunda menghargai keanekaragaman budaya dan sejarahnya yang kaya, dan interaksi dengan Melayu merupakan bagian integral dari identitas budaya mereka.

4.      Bugis

Melayu dalam perspektif suku Bugis memiliki makna yang kompleks dan beragam. Secara historis, suku Bugis memiliki hubungan dagang dan budaya yang erat dengan masyarakat Melayu, terutama melalui jalur perdagangan laut di wilayah timur Nusantara.

Dalam beberapa catatan sejarah dan sastra Bugis, istilah "Melayu" sering dikaitkan dengan perdagangan, pelayaran, dan penyebaran Islam di wilayah tersebut. Suku Bugis sendiri dikenal sebagai pelaut ulung dan pedagang yang handal, sehingga mereka memiliki peran penting dalam jaringan perdagangan maritim di Nusantara.

Simbol keahlian pelayaran suku Bugis yang handal yaitu dengan dibuatnya Kapal Pinisi. Kapal Pinisi merupakan kapal legendaris dari Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis  yang sebelum digunakan untuk kapal perdagangan, awalnya dipakai untuk perjalanan ke Tiongkok melalui jalur Laut Sulawesi ke utara.

5.      Suku-suku di Kalimantan Barat

Suku-suku di Kalimantan Barat, seperti suku Dayak dan Melayu sendiri memiliki kesadaran akan hubungan sejarah. Penelitian tentang identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat juga menunjukkan bahwa Kalimantan Barat memiliki peran penting dalam sejarah dan budaya Melayu. Dayak dan Melayu merupakan dua kelompok masyarakat yang signifikan di wilayah ini, dengan Dayak terdiri dari 30-40% penduduk Kalimantan Barat dan memiliki 151 subsuku dan 100 subsubsuku.

6.      Palembang, Jambi, dan Riau

Perspektif orang Melayu asli Palembang, Jambi, dan Riau tentang Melayu pada umumnya memiliki kesadaran akan identitas budaya dan sejarah Melayu yang kaya dan beragam. Ketiga propinsi di Indonesia ini dipercaya sebagai tempat awal sejarah peradaban Melayu di Nusantara (The Homeland of Melayu), dari sejarah Melayu Kuno pada tahun 644 Masehi  hingga masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim Hindu-Buddha yang mempunyai kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-14 M. Meskipun beragama Buddha dengan pengaruh Hindu yang juga masih signifikan, Kerajaan Sriwijaya juga dikenal memiliki toleransi terhadap agama lain.

Pemerintah daerah Jambi, Palembang, dan Riau berusaha untuk melestarikan warisan budaya Melayu dan mengembangkan potensi wisata sejarah. Usaha-usaha ini meliputi revitalisasi situs bersejarah, promosi seni dan kerajinan tradisional, serta penyusunan kurikulum sejarah dan bahasa Melayu di sekolah. Dengan berbagai usaha tersebut, pemerintah daerah Jambi, Palembang, dan Riau berharap dapat melestarikan warisan budaya Melayu dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sejarah peradaban Melayu di Nusantara.

7.      Semenanjung (Malaysia)

Di Semenanjung (Malaysia) perspektif bahwa Melayu itu Islam sangat kuat dan berpengaruh. Islam dipandang bukan hanya sebagai agama, tetapi juga bagian integral dari identitas budaya mereka. Ini karena perkembangan peradaban Melayu di Semenanjung terjadi setelah abad ke-13, yaitu awal berdirinya Kerajaan Malaka. Maka yang dikatakan Melayu di Malaysia yaitu kaum yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan mengamalkan budaya Melayu.

Kerajaan Malaka yang juga dikenal sebagai Kesultanan Malaka didirikan oleh Parameswara pada tahun 1402 Masehi, seorang pangeran Hindu yang melarikan diri dari perang saudara di Majapahit. Parameswara kemudian memeluk Islam dan menjadi Sultan Iskandar Syah. Kerajaan ini berkembang pesat karena lokasinya yang strategis di Selat Malaka, yang menjadi jalur perdagangan utama antara Asia Timur dan Eropa.

Pluralitas Melayu terjadi karena pertemuan dagang suku-suku Nusantara hingga proses pembauran atau asimilasi sejak masa Melayu kuno hingga Melayu Modern. Contohnya terjadinya asimilasi sejak Melayu Kuno yaitu di Riau. Maka sebenarnya orang-orang Melayu Riau dipengaruhi sekurang-kurangnya 5 sub-kultur dari hasil asimilasi budaya tersebut.

Pengaruh Bugis (Riau Kepulauan dan Indragiri Hilir). Pengaruh Minangkabau (Kampar dan Taluk Kuantan, Kuantan-Singingi). Pengaruh Banjar (Indragiri Hilir). Pengaruh Mandahiling (Pasir Pangarayan, Rokan Hulu). Pengaruh Arab (Siak Sriindrapura, Pelalawan, Indragiri Hulu). Maka tidak heran jika di Riau saja ada 24 dialek bahasa Melayu. 

Melayu tidaklah tunggal, ia lahir dari interaksi berbagai suku, bahasa, dan tradisi yang berpadu dalam ruang dagang dan budaya maritim. Di Indonesia, Melayu dipahami sebagai bagian dari mosaik besar identitas Nusantara yang plural dan inklusif. Ia bukan milik satu etnis atau agama, tetapi hasil dari proses panjang asimilasi, interaksi, dan kolaborasi lintas suku dan budaya.

Sebaliknya, di Malaysia, identitas Melayu telah mengalami proses politisasi dan penyempitan makna, di mana unsur agama (Islam), bahasa, dan budaya tertentu menjadi kriteria utama. Hal ini membentuk kerangka identitas Melayu yang lebih homogen, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam merangkul keragaman etnis dan budaya yang ada di negara tersebut.

Melayu bukanlah warisan satu bangsa, tetapi jejak peradaban bersama yang terus berkembang dalam denyut nadi Nusantara. Indonesia menempatkan pluralitas sebagai fondasi kebangsaan. Sementara Malaysia cenderung membingkai Melayu sebagai identitas dominan. Dalam konteks ini, penting untuk terus mendorong dialog lintas-batas dan lintas-identitas agar pemahaman tentang Melayu tetap terbuka, adaptif, dan mampu menjembatani perbedaan menuju persatuan.

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Melayu

https://www.researchgate.net/profile/Karya-Ilmiah-Tadris-Bahasa-Inggris/publication/311545199_MEMBACA_TEKS_PERADABAN_BESAR_BANGSA_NUSANTARA_PERSPEKTIF_SEJARAH_DAN_LINGUISTIK/links/584bdfb908aed95c24fc0159/MEMBACA-TEKS-PERADABAN-BESAR-BANGSA-NUSANTARA-PERSPEKTIF-SEJARAH-DAN-LINGUISTIK.pdf
Nang Nayoko Aji, terlahir dengan nama NAYOKO AJI di Blora Jawa Tengah nama panggilan Aji, sewaktu kecil dipanggil Nanang. Sering karena banyak teman yang namanya juga Aji jadi dipanggil Nayoko. Masa kecil sampai Lulus SMA tinggal bersama orang tua di Kelurahan yang juga merupakan Kota Kecamatan Ngawen Kabupaten BLORA. Menyelesaikan pendidikan TK, SD, SMP di Ngawen, SMA di SMAN 1 Blora tahun 1990, DIII Teknik Mesin di Universitas Diponegoro Semarang tahun 1994, S1 Teknik Mesin di Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1997. Berbagai pengalaman kerja dijalani mulai dari mengajar di STM BHINNEKA Patebon Kendal tahun ajaran 1998/1999. Staff Umum di Perusahaan Tambak dan Pembekuan Udang PT Seafer General Foods di KENDAL tahun 1999 – 2001. Mengelola Rental dan Pelatihan Komputer di Tembalang SEMARANG tahun 2002 – 2005. Staff sampai menduduki posisi Supervisor Regional Distribution Center / Kepala Gudang Wilayah di PT Columbindo Perdana / Columbia Cash and Credit tahun 2005 sampai PT tersebut bermasalah resign tanggal 1 April 2019.

Komentar

  1. Pesan untuk Kaum Melayu Semenanjung yang Menolak Membuka Diri terhadap Sejarah:

    “Orang bodoh bukanlah mereka yang tidak tahu, tetapi mereka yang menolak untuk tahu.”
    Ketika seseorang memilih menutup pintu pikirannya—entah karena ego, fanatisme, atau ketakutan akan kesalahan—maka sekuat dan selogis apa pun bukti yang disampaikan, tetap tak akan menggoyahkan keyakinannya.
    Dalam kondisi itu, ia sebenarnya tidak sedang mencari kebenaran, melainkan sedang mempertahankan perasaan benar.
    Diskusi pun menjadi sia-sia, karena yang bekerja bukan lagi akal sehat, melainkan benteng emosi. Mereka tidak kekurangan informasi; mereka hanya menolak proses berpikir yang jujur.
    Yang dipilih bukan yang benar, tapi yang nyaman.

    Kutipan Mark Twain mengingatkan kita bahwa:
    > “Lebih mudah membodohi orang daripada meyakinkan mereka bahwa mereka telah dibodohi.”

    Ini bukan sekadar sindiran. Ini adalah peringatan bahwa kecerdasan bukan semata soal logika, tapi juga keberanian untuk terbuka terhadap bukti—termasuk bukti yang bisa menggoyahkan keyakinan kita sendiri.
    Dan keberanian semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar ingin belajar, bukan yang merasa sudah tahu segalanya.

    BalasHapus

Posting Komentar