Langsung ke konten utama

FANA

Oleh : NANG NAYOKO AJI

Apa sih yang tidak bisa buat aku.” Dengan angkuhnya batinku saat itu membanggakan diri sendiri. 

Siapa yang tidak merasa bangga. Aku masih muda, ganteng, kaya dan seabrek “kemuliaan” ada pada diriku.

Dunia fana, bagiku itu kata-kata klise. Bukan hanya tidak berarti, tidak membekas sama sekali dihati karena aku lebih suka berperilaku dan bergaya hidup yang hedonis. Hingga aku cenderung individualis, juga sombong karena menganggap diri sendiri lebih penting dari orang lain.

Saat ini aku hanya bisa memandang langit-langit kamar. Ya, tiba-tiba dokter memvonis ada penyakit yang bersarang dalam tubuh ini. Keadaan ini menjadi pukulan yang tidak dapat kuterima dengan mudah, aku sering mengumpat, memaki keadaan. Hari ke hari bukannya bertambah sehat, tapi justru tubuh ini melemah, sakit semakin parah.

Nglimpruk koyo gombal amoh ora ono regane,” gumanku mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku sekarang hanya bisa teronggok seperti pakaian bekas tak berharga.

Awakku lemes ora ono doyo, koyo balunge wis dilolosi” Badanku lemas tidak ada daya, seperti tulang sudah dilepas dari badan lanjut gumanku berkeluh.

Kembali menatap langit-langit kamar. Eternit yang aku bangun buat plafon beberapa tahun yang dulu tampak bagus, sekarang rangka kayunya sudah ada yang keropos dan bernoda bekas bocoran air hujan. Aku perhatikan juga, cat dinding kamar juga sudah mengusam. Dari itu aku terus merenung, semakin menyadari bahwa menua itu sebuah keniscayaan.

Keangkuhan mulai terkikis, “apa ini juga yang terjadi pada tubuhku?”

Dan kesepian kini melanda hari-hariku, “Dimana teman-temanku, bagaimana kalau aku mati nanti?” 

Tanpa sadar air mata keluar. Berpuluh tahun baru kali ini bisa mengeluarkan air mata lagi. Istri yang kebetulan menemani tampak mengkwatirkanku.

“Apa yang sakit? Mana yang minta dipijit?” Tanya istri sambil menggenggam jemari tangan kananku dengan jemari-jemari kedua tangannya.

Ingin aku bercerita banyak. Namun lidah terasa kaku, mulut kering, bahkan badan yang kemarin terasa lemas, kini justru kaku dan sulit bergerak. Sakit sudah tidak dapat kurasakan lagi, yang terpikir adalah tidak lama lagi kematianku akan tiba.

Hanya istriku. Ya, hanya istri yang setia. Setia menemani walau dalam keadaanku begini. Kebanggaanku saat ini hanya pada istri. Sebelum menikah dulu berperawakan tinggi semampai. Setelah tigapuluhan tahun menikah, istri tampak gemuk. Kini saat merawatku sakit, istri kelihatan lebih kurusan tapi masik tetap cantik. Istri juga yang selalu mendo’akanku.

“Mas, mau nggak besuk mulai mengaji?” Aku belum mampu menjawab. 

“Mulai besuk saya panggilkan Ustadz ya? Selain berobat dokter, mas juga harus mendapatkan siraman rohani” Lanjut istri dan aku hanya mampu berkedip tanda setuju dan pasrah dengan kemauan istri. 

Setelah beberapa kali mendapat siraman rohani dari Ustadz membuat aku bisa bersikap positif dalam menanggapi segala sesuatu di kehidupan ini. Karena nasehat-nasehat itu, hingga mampu merubah pandanganku bahwa dalam cobaan dan ujian hidup, seharusnya membuat kita lebih mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya.

Aku juga sempat meminta nasehat kematian. Sudah merasa dalam ketidakberdayaan, aku pasrah hingga pada titik keikhlasan, menyerahkan takdir kematian hanya kepada Allah SWT.

Aku kembali meneteskan air mata. Ini tangisan yang kedua dalam sakitku. Kali ini aku menangis bukan karena takut akan mati. Aku menangis karena teringat sama orang-orang yang dulu pernah aku dzolimi. Aku meminta istri untuk mendatangi orang-orang yang dulu pernah aku dzolimi dan meminta supaya bisa bertemu denganku. Jika tidak bisa bertemu, aku minta pada istri agar memastikan orang tersebut sudah memaafkan aku.

Kini aku merasa lega setelah semua orang yang dulu aku dzolimi sudah memaafkanku. Dan aku benar-benar pasrah. Dalam kepasrahan dan tidak adanya beban pikiran justru membuat kesehatanku makin membaik. Aku berangsur-angsur sehat. Hingga pada suatu hari aku mulai bisa bangkit dari tempat tidur. Dan, sejak saat itu aku benar-benar sehat.

 __&&&__ 

Aku menjalani hidup dengan normal kembali. Seperti mendapatkan kesempatan hidup kedua. Puji syukur aku panjatkan. Sebagai wujud syukur, kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Aku ingin lebih baik, bisa menjaga ibadah dan berusaha memberi manfaat kepada orang lain. Aku ingin sisa hidupku bermakna.

Waktu yang berlalu tak mungkin diputar kembali, terlalu banyak yang telah lewat dan berlalu tanpa kita sadari. Tapi selalu ada kesempatan bila kita mau perbaiki. Bulatkan tekad dan bertawakallah kepada Allah.” Aku berjanji pada diriku sendiri.

Melihat perubahan diriku, istri sangat senang sekali. Dari dulu istri yang menghendaki aku untuk bisa berhijrah. Aku yang dulu tidak menghiraukannya, kini aku tahu istri menginginkan aku menjadi lebih baik. Aku jadi makin cinta dan sayang pada istri.

Hingga suatu sore sehabis istri mandi, dia merasakan badannya tiba-tiba dingin, pusing dan ingin muntah.

“Apa kamu masuk angin?” Kataku sambil memegang badan istri untuk mengecek suhu badannya.

“Iya, dingin badanmu!”

Sampai gemetar istri merasakan kedinginan. Lalu aku suruh dia tiduran di kasur dan aku beri selimut. Aku tinggal untuk menjemput dokter. Sesampainya dokter di rumah dan memeriksa istri, dokter mengatakan bahwa istriku sudah meninggal.

“Innalillahi wa inna ilahi rojiun” Aku kembali pasrah, menyerahkan takdir kematian hanya kepada Allah SWT. Yang dulu pasrah dan ikhlas menyerahkan takdir kematian itu buat aku sendiri, sekarang buat istri tercinta.

Kini aku makin sadar. Dunia ini berputar, segalanya berubah, yang tidak berubah di dunia ini hanya perubahan itu sendiri.

Samubarang ning donya ora ono sing langgeng”, segala sesuatu didunia ini tidak ada yang abadi, fana! 

__&&&__ 

 

Nang Nayoko Aji, terlahir dengan nama NAYOKO AJI di Blora Jawa Tengah nama panggilan Aji, sewaktu kecil dipanggil Nanang. Sering karena banyak teman yang namanya juga Aji jadi dipanggil Nayoko. Masa kecil sampai Lulus SMA tinggal bersama orang tua di Kelurahan yang juga merupakan Kota Kecamatan Ngawen Kabupaten BLORA. Menyelesaikan pendidikan TK, SD, SMP di Ngawen, SMA di SMAN 1 Blora tahun 1990, DIII Teknik Mesin di Universitas Diponegoro Semarang tahun 1994, S1 Teknik Mesin di Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1997. Berbagai pengalaman kerja dijalani mulai dari mengajar di STM BHINNEKA Patebon Kendal tahun ajaran 1998/1999. Staff Umum di Perusahaan Tambak dan Pembekuan Udang PT Seafer General Foods di KENDAL tahun 1999 – 2001. Mengelola Rental dan Pelatihan Komputer di Tembalang SEMARANG tahun 2002 – 2005. Staff sampai menduduki posisi Supervisor Regional Distribution Center / Kepala Gudang Wilayah di PT Columbindo Perdana / Columbia Cash and Credit tahun 2005 sampai PT tersebut bermasalah resign tanggal 1 April 2019.

Komentar

  1. Hidup hanya sementara ... Mantab mas

    BalasHapus
  2. Bacalah,................... Bacalah............. Bacalah,........ :)

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Terinspirasi dari Lagu Peterpen, Tak Ada Yang Abadi
      Bahkan mau saya kasih judul yang sama, tapi akhirnya memilih kata dasarnya yang artinya sama.

      Hapus

Posting Komentar